Nasional

NU dan Pemilu 2024: Cawe-Cawe atau Menegakkan Makna Khittah

Oleh: Muhammad Mustafid
(Pengasuh PP Aswaja Nusantara, Mlangi, Sleman dan Pimpinan Laskar Santri D. I. Yogyakarta)

KEBARUAN.COM – Nahdlatul Ulama, adalah sebuah organisasi sosial kemasyarakatan keagamaan, yang memiliki sejarah sangat panjang. Seperti dilansir oleh NU online, Nahdlatul Ulama (NU) dibentuk atas dasar kesepakatan para ulama, pada tanggal 31 Januari 1926, atau 16 Rajab 1344 Hijiriah. Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari, kemudian memimpin organisasi ini (NU), sebagai Rais Akbar (Sumber nu.or.id, diakses 29 Desember 2023). Hal ini adalah pemahaman legal-kelembagaan. Secara Nur-NU, embrio organisasi ini telah ada sejak Islam masuk ke Nusantara dan pergerakannya sudah mulai tegak sejak kolonialisme dan imperialisme mulai mencengkeram Nusantara.

Pada awalnya, NU sejarahnya adalah sebuah organisasi yang berasal dari masyarakat sipil, tujuannya adalah sebagai usaha untuk menyatukan kekuatan masyarakat Islam, yang telah tumbuh dan berkembang semenjak abad ke-5 Masehi (Sumber, artikel M. Imam Aziz dalam nu.or.id, “Revitalisasi Khittah NU”, diakses 29 Desember 2023). Artinya, dari awal mula pembentukan, NU adalah kepanjangan tangan masyarakat sipil, atau rakyat jelata, bukan proxy kekuasaan, atau kepanjangan tangan penguasa.

Setelah negara Indonesia berdiri, sampai masa Reformasi sekarang ini, sejarah merapatnya NU ke kekuasaan, adalah untuk memastikan Amanah negara, untuk memberi nasihat, untuk mempermudah koreksi langsung atas kekuasaan. Khususnya, koreksi yang dilakukan NU pada kekuasaan yang sudah berjalan sewenang-wenang, tidak pro rakyat, dan keluar dari ruh konstitusi.

Baca jugaPerpres 78 Tahun 2023, Salah Satu Alasan Mengapa Rakyat Butuh Perubahan

Para penguasa dan politisi dalam sejarah sosial dan politik Indonesia, sadar akan posisi NU sebagai representasi masyarakat sipil ini. Kesadaran itu menjadikan mereka sering kali merangkul NU secara organisasi maupun personal, gunanya, adalah untuk memperkuat legitimasi kekuasaan mereka terhadap rakyat. Akan tetapi, para Kyai NU, dalam sejarah, tidak terlena-ternina-bobokan dan sadar akan motif pemerintah untuk menjadikan NU sebagai alat penguat legitimasi politik mereka di hadapan rakyat. Karena itu, para kyai NU, senantiasa mengingatkan dan memberi nasihat penting kepada seluruh pemerintah Indonesia, dari masa pasca-kemerdekaan, Orde lama, Orde Baru, sampai Reformasi.

Ketika tokoh NU menjadi Presiden Indonesia, Gus Dur benar-benar menjalankan kekuasaan untuk kepentingan rakyat, dengan mengganti para menteri yang berasal dari kalangan militer, yang memiliki rekam jejak, bermasalah dalam kasus Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu, Gus Dur juga membubarkan Departemen Penerangan (Deppen), yang pada masa Orde Baru, dimanfaatkan oleh kekuasaan untuk mengekang kebebasan pers. Gus Dur juga menjadikan Departemen Koperasi dan Pengusaha Kecil Menengah menjadi sebuah lembaga yang dikepalai oleh seorang Menteri Negara. Pada tahun 2000, Gus Dur mengeluarkan Perpres Nomor 6 Tahun 2000, yang mencabut Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967, yang melarang segala ekspresi agama dan adatTionghoa di ranah publik. Gus Dur juga menetapkan Tahun Baru Imlek, sebagai hari libur nasional, pada tahun 2000 (Sumber: kompas.com, diakses 29 Desember 2023) Hal inilah yang membuat etnis Tionghoa bisa merayakan Tahun Baru Imlek, secara bebas tanpa tekanan politik.

Baca juga : Berbagai Program Kongkrit AMIN untuk Penyandang Disabilitas

Khittah NU sebagai kepanjangan tangan masyarakat sipil inilah, yang harus senantiasa diingat oleh setiap individu, tokoh, maupun Kyai, yang bernaung di bawah organisasi Nahdlatul Ulama (NU), baik sebagai anggota biasa, maupun pengurus struktural di organisasi NU. Oleh karena itu, sikap-sikap individu, tokoh, maupun Kyai, yang menjadi kepanjangan tangan politisi dan kekuasaan (hanya menjadi legitimasi an sich), adalah sikap yang bertentangan dengan khittah NU. Seperti sebuah video yang baru-baru ini viral, yaitu, seorang Kyai yang bagi-bagi uang kepada rakyat di suatu daerah, dengan tujuan supaya rakyat memilih paslon yang didukungnya secara politik, dalam kontestasi Pilpres (Pemilu Presiden) 2024.

Berdasarkan pada sejarah organisasional, maka NU seharusnya berada di atas semua golongan dan kelompok. Oleh karena itu, adalah sebuah tindakan yang tidak etis, atau tidak baik secara moral, jika ada pengurus struktural NU melanggar hakekat Khittah, baik terbuka atau isyarat, untuk mengikuti pilihan politiknya dalam Pilpres 2024. Seharusnya NU secara organisasi, membebaskan seluruh anggotanya, untuk menentukan keberpihakan politik mereka, selama hal tersebut tidak bertentangan dengan khittah NU, yaitu sebagai kepanjangan tangan masyarakat sipil, atau penyambung lidah rakyat. Dengan khittah, NU, atau pengurus structuralnya, tidak perlu cawe-cawe dalam pemenangan 2024, namun memastikan siyasah Samiyah (high politics) dan ringayatul-ummah bisa operasional dengan baik, efektif, dan elegan, di bawah panji-panji nilai aswaja.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top