Nasional

Resistensi AMIN terhadap IKN: Akar dan Maknanya

Ide AMIN tentang pembangunan desa dan kota.

Oleh: Bosman Batubara

(Postdoctoral researcher di Human Geography and Spatial Planning Department, Utrecht University)

KEBARUAN.COM – Dalam debat calon presiden pada 12 Desember 2023, Ganjar Pranowo, calon presiden nomor urut 3, bertanya sikap Anies Rasyid Baswedan (ARB, calon presiden nomor urut 1), terhadap proyek Ibu Kota Negara Nusantara (IKN). ARB membagi jawabannya ke dalam tiga kelompok. Pertama, kalau ada masalah di Jakarta, jangan ditinggalkan, tapi dibenahi. Kedua, ada banyak permasalahan di Kalimantan yang juga membutuhkan anggaran, harus lebih adil dalam alokasi anggaran pembangunan. Ketiga, ARB melihat keputusan pemindahan ibukota dan produk hukum yang mengatur IKN tidak melewati proses pembahasan yang partisipatif dan komprehensif melibatkan publik yang lebih luas.

Tulisan ini memiliki dua agenda: pertama, mencari akar resistensi pasangan ARB dan Muhamimin Iskandar, AMIN, terhadap Proyek IKN dalam praktik yang sudah dilakukan ARB sewaktu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada periode 2017-22; kedua, mendiskusikan makna resistensi AMIN terhadap Proyek IKN dalam kerangka dua konsep kota: kota sebagai produk urbanisasi kapitalis dan kota sebagai entitas politik.

Saya mulai dari tujuan pertama tulisan ini, mencari akar resistensi pasangan AMIN terhadap Proyek IKN dalam praktik yang sudah dilakukan ARB (dan jajarannya) ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Baca juga: Memahami Ide AMIN tentang Pembangunan Terpadu Desa dan Kota

Poin resistensi ARB yang pertama terhadap IKN: Jakarta dan masalahnya jangan ditinggalkan. Saya mengambil manajemen banjir sebagai acuan untuk melihat rekam jejak ARB ketika menjadi Gubernur Jakarta. Pilihan ini saya ambil karena saya melakukan penelitian tentang itu, melalui proses penyusunan disertasi doktoral di University of Amsterdam dan IHE-Delft Institute for Water Education, keduanya ada di Belanda.

Dalam dunia kang-ouw manajemen banjir, ada satu pola yang saya lihat berkeliaran. Pola tersebut adalah sikap yang cenderung tidak peduli pada lokalitas geografi, terlihat dari resep yang cenderung sama untuk semua tempat. Saya sebut model penanganan banjir macam ini dengan nama one size fits all. Intervensi penanganan banjir model one size fits all biasanya muncul dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Contoh yang paling banyak beredar tentang model infrastruktur penanganan banjir one size fits all adalah normalisasi sungai. Normalisasi sungai telah menjadi lagu wajib manajemen banjir. Saya sampaikan beberapa contoh. Di masa Gubernur Ahok, normalisasi sungai dilaksanakan di Kali Ciliwung dengan ongkos menggusur Kampung Pulo dan Bukit Duri pada 2016. Normalisasi juga dilakukan di Semarang, di Kanal Banjir Timur, dengan ongkos penggusuran Kampung Tambak Rejo pada 2019.

Normalisasi dalam bentuk pelebaran sungai juga dilakukan di Sungai Sepaku, di Kelurahan Sepaku, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, terutama untuk pembangunan water-intake bagi Proyek IKN atas ongkos pemotongan rumah-rumah warga, misalnya rumah Pak Mustafa, anggota Suku Balik yang tinggal di Kelurahan Sepaku.

Normalisasi sungai juga dilakukan di Kecamatan Ulupungkut, Kabupaten Mandailing Natal, dengan ongkos kemungkinan relokasi beberapa perumahan yang diidentifikasi terkena area yang akan dinormalisasi itu.

Jadi jelas, tak ubahnya iklan, apapun makanannya maka teh botol sosro adalah minumannya; cenderung tanpa penilaian mendalam terhadap konteks dinamika bentang alam setempat, normalisasi sungai adalah solusinya; one size fits all.

Contoh infrastruktur banjir one size fits all yang kedua adalah tol dan tanggul laut. Model ini sedang diimplementasikan di Jakarta lewat proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Zaman ARB menjadi Gubernur DKI Jakarta, NCICD sempat seperti menghilang. Setelah ARB diganti care-taker, proyek ini kembali muncul. Proyek yang lain yang mirip dengan NCICD berada di Pantai Utara (Pantura) Provinsi Jawa Tengah, Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD).

Secara berbeda, ARB relatif keluar dari pakem one size fits all dalam manajemen banjir ketika dia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Saya paham, menangani masalah seperti banjir Jakarta bukanlah perkara mudah, di tengah degradasi lingkungan yang bersifat trans-lokal seperti perubahan area biru dan hijau yang semakin menyempit dalam kendali kekuatan-kekuatan ekonomi politik historis, pada saat yang sama berlangsung pula peristiwa global atau planetary yang penyebab dan dampaknya meruang secara lokal seperti emisi kenderaan bermotor dan kenaikan suhu Bumi dan permukaan air laut. Saya simpati dengan kerja – pemikiran, narasi, kebijakan, implementasi, dan keringat – ARB dalam usahanya menangani banjir Jakarta yang, dalam pandangan saya, keluar dari pola one size fits all yang cenderung tidak kreatif tapi mengikuti-diktat/template itu.

Ada beberapa contoh intervensi manajemen banjir yang disampaikan dan dilakukan ARB ketika maju menjadi atau sewaktu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Contoh pertama yang beberapa tahun lalu menjadi diskusi yang hangat di media massa adalah sikapnya membatalkan beberapa, tidak semua, pulau reklamasi di Teluk Jakarta. Salah satu alasan penolakan kelompok masyarakat, misalnya Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta, terhadap proyek reklamasi di Teluk Jakarta adalah bahwa pembangunan pulau-pulau reklamasi potensial meningkatkan risiko banjir bagi kawasan utara Kota.

Kontekstual di Teluk Jakarta, pemikiran hidrologi-nya adalah, pulau-pulau reklamasi di Teluk Jakarta dapat mendorong terjadinya proses sedimentasi di muara-muara sungai di sana dan, pada gilirannya, endapan sedimen dapat mengurangi aliran-air-sungai-ke-laut yang dikontrol oleh gravitasi; ini, pada ujungnya, akan meletakkan bagian utara Kota Jakarta semakin berisiko terhadap banjir. Jadi, dalam cara berfikir seperti ini, penolakan terhadap dan pembatalan pulau-pulau reklamasi adalah sebuah usaha manajemen banjir. Dengan demikian, manajemen banjir bukanlah sekadar persoalan membangun ini atau membangun itu, tapi dapat juga muncul dalam bentuk sebaliknya: tidak membangun ini dan itu.

Contoh inisiatif manajemen banjir yang lain yang dapat disimak dari rekam jejak ARB selama menjadi Gubernur DKI Jakarta adalah dukungannya terhadap organisasi rakyat seperti Komunitas Anak Kali Ciliwung (KAKC) yang terdiri dari tiga kampungkota di bagian utara Jakarta, Kampung Lodan, Kerapu, dan Kunir. Konteksnya, usaha penanganan banjir yang dikonsep oleh Bank Dunia pada 2014, Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI), bermaksud melakukan normalisasi di beberapa sungai dan waduk di Jakarta. Konsep ini kemudian diadopsi oleh Pemprov DKI Jakarta. Ujungnya, ketiga kampungkota berada dalam ancaman penggusuran, yang kemudian berhasil ditolak oleh warga.

Belakangan, tergabung dalam Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) Jakarta, KAKC melakukan kontrak politik dengan ARB dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, di mana ARB dan Sandiaga Uno keluar sebagai pemenangnya. Selama menjadi Gubernur, alih-alih melanjutkan usaha menggusur ke tiga kampungkota, ARB sangat menghormati ide dan usaha warga yang tergabung di KAKC dalam mengimplementasikan manajemen banjir yang konsepnya spesifik/lokal tapi bertaut dengan peristiwa-peristiwa geografi yang memiliki skala lebih besar seperti manajemen area tangkapan air dan Daerah Aliran Sungai (DAS).

Praktik-praktik manajemen banjir dalam KAKC misalnya adalah penguatan organisasi rakyat, menjaga dan membersihkan sungai, manajemen sampah, dan pertanian perkotaan. Agenda yang pertama sangat penting untuk memasilitasi praktik-praktik baik intervensi ke tubuh ekologi dalam agenda-agenda ke dua hingga ke empat. Dalam bentang alam Kota Jakarta, area ke tiga kampungkota yang tergabung dalam KAKC tidaklah begitu besar. Secara total ketiganya memiliki luas area sekitar 1,2 hektar. Jauh di bawah 1% dari luas keseluruhan DKI Jakarta. Tapi dalam hitungan area tangkapan air dan DAS, inisiatif tetap harus dimulai di suatu tempat di suatu waktu. Tanpa inisiatif kecil-kecil, akumulasi praktik-praktik baik hidrologi yang lebih besar skala-nya di area tangkapan air dan DAS susah/mustahil untuk diwujudkan.

Poin kritik yang kedua ARB terhadap IKN, menyangkut keadilan, bukanlah barang baru bagi ARB, dan tema ini memegang peranan penting dalam kampanye pasangan AMIN. Substansi perbincangan tentang ke(tidak)adilan muncul di dalam banyak kesempatan pasangan AMIN tampil di depan publik, juga dalam visi dan misi mereka. Contoh praktik menyingkap ketidakadilan yang dapat dijadikan sebagai akar dari resistensi pasangan AMIN terhadap Proyek IKN bisa dilacak ketika ARB menjadi Gubernur DKI Jakarta, seperti dipaparkan berikut ini.

Pada paroh pertama 2018, media memberitakan bahwa ARB melakukan inspeksi terhadap 40 gedung di Jakarta. Temuannya berbagai-bagai. Sebanyak 9 gedung tidak memiliki sumur resapan, hanya 6 gedung yang memiliki kolam resapan, 20 gedung memiliki instalasi pengelolaan air limbah, dan 11 sumur bor dengan surat izin pengambilan air (SIPA) yang sudah habis masa berlakunya.

Inspeksi seperti ini di luar pakem. Logika yang tersemen dalam berbagai proyek penanganan banjir di Jakarta adalah menyalahkan kaum miskin kota yang tinggal dekat dengan atau di atas sungai dan waduk. Logika manajemen banjir menyalahkan kaum miskin kota ini yang menubuh dalam normalisasi sungai. Akibatnya, pemukiman kaum miskin kota dilihat sebagai penyebab banjir, dan karenanya harus digusur.

Sebaliknya, dengan melakukan inspeksi gedung-gedung, ARB menunjukkan bahwa orang kaya yang memiliki atau menggunakan gedung-gedung juga berkontribusi dalam memroduksi risiko banjir yang semakin tinggi di Jakarta. Dalam kasus Jakarta, situasi ini bisa lebih dibuat tampak melalui, misalnya, pemakaian sumur bor.

Yang disebut sumur bor biasanya menyedot air tanah dalam. Di Jakarta, yang disebut air tanah dalam berada pada kedalaman lebih dari 40 meter di bawah permukaan tanah. Ekstraksi air tanah dalam adalah salah satu penyebab kunci terjadinya amblesan tanah di Jakarta, yang di beberapa tempat, lajunya lebih dari 10 cm/tahun. Logikanya, air tanah yang diekstrak menyebabkan pori-pori batuan sarang air tanah (aquifer) berongga. Ketika gedung-gedung dan aktivitas perkotaan di atasnya memberikan beban, maka lapisan-lapisan batuan tersebut mengalami kompaksi, dan ekspresinya di atas permukaan adalah amblesan tanah. Amblesan tanah menyebabkan naiknya risiko terjadinya banjir.

Model hidrogeologi yang dapat saya akses menunjukkan bahwa aquifer yang berongga karena ekstraksi air tanah kemungkinan besar adalah aquifer dalam. Ini terjadi karena ekstraksi air tanah dalam yang dilakukan dengan sumur bor. Jadi, dengan hubungan-hubungan ekologis – manusia, air tanah dalam, dan batuan sarang air tanah dalam – seperti ini, yang menjadi penyebab munculnya pori dalam aquifer dalam yang menyebabkan ia terkompaksi, dan pada gilirannya menimbulkan ekspresi permukaan berupa amblesan tanah yang menaikkan risiko banjir, adalah ekstraksi air tanah dalam oleh sumur bor, kemungkinan besar seperti yang dilakukan oleh gedung-gedung yang diinspeksi oleh ARB.

Praktik di DKI Jakarta pada era ARB menjabat sebagai Gubernur yang dapat memberikan nyawa bagi poin kritiknya yang ketiga terhadap Proyek IKN berupa kurangnya partisipasi publik yang lebih luas dalam pengambilan keputusan perihal pemindahan ibukota dan pengaturan IKN adalah kasus Kampung Akuarium. Kampung Akuarium baru-baru ini, bersama dengan KAKC dan beberapa kampungkota yang lain di Jakarta, menerima penghargaan internasional dalam bentuk medali emas dari World Habitat Awards (WHA) 2024. WHA adalah bentuk apresiasi tingkat dunia terhadap proyek permukiman yang inovatif, solutif, atau bahkan revolusioner.

Kampung Akuarium mulai dibangun warga sejak akhir 1970-an dan awal 1980-an. Pada 2016, Kampung Akuarium menempati area lebih dari 1 hektar dengan 241 bangunan di dalamnya, dengan total populasi 700 orang. Konservasi bangunan tua yang berpilin dengan manajemen banjir menjadi alasan teknis Kampung Akuarium digusur oleh Pemprov DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Ahok pada 2016. Waktu itu, Pemprov mau merestorasi benteng peninggalan Belanda sekaligus memasang sheet pile dan membangun tanggul agar air laut tidak masuk.

Begitu Gubernur Ahok lengser dan diganti ARB, maka pembangunan kembali Kampung Akuarium yang telah digusur menjadi Kampung Susun Akuarium dijalankan. Bahu-membahu bersama warga, organisasi non-pemerintah, dan universitas, Pemprov DKI Jakarta dalam komando ARB adalah beberapa lokomotif dalam pembangunan Kampung Susun Akuarium. Proses pembangunan berjalan partisipatif, mulai dari perencanaan, kontrol terhadap implementasi/pembangunan, hingga pengelolaan gedung dalam bentuk kooperasi.

Dari penggalian rekam jejak ARB ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta yang dalam tulisan ini saya tafsirkan sebagai akar resistensi pasangan AMIN terhadap Proyek IKN yang muncul dalam tiga poin yang sudah dipaparkan di atas – solusi terhadap banjir Jakarta, keadilan, dan partisipasi –, tulisan ini sekarang pindah mengevaluasinya, menggali maknanya, dalam kerangka dua konsep tentang kota: sebagai produk dari proses urbanisasi kapitalis dan sebagai entitas politik.

Konsepsi kota yang pertama, sebagai produk dari urbanisasi kapitalis, dalam Bahasa Inggris dikenal dengan urban. Kota yang urban adalah produk dari urbanisasi. Di sini urbanisasi tidaklah bermakna sempit berupa migrasi orang dari-desa-ke-kota. Ia memiliki makna yang lebih luas sebagai proses-proses yang menghasilkan urban. Dalam konteks ini urbanisasi dilihat sebagai proses kapitalistik karena kawasan urban di bawah skema ini adalah konsentrasi spasial untuk mempermudah ekstraksi surplus oleh para kapitalis. Manifestasi konsentrasi spasial sebagai instrumen untuk mengekstrak surplus oleh para kapitalis ini misalnya muncul dalam aplikasi dan ranah komersial (mall, hotel, perkantoran, universitas-universitas, pabrik-pabrik, pemukiman mewah, dan harga-harga tanah dan rumah yang mahal).

Kota sebagai entitas politik, dalam Bahasa Inggris adalah city. Perbincangan dalam kota sebagai city adalah tentang demokrasi, tentang hak dan partisipasi. Bahwa semua warga kota (citizen?) berhak untuk secara aktif-politis berpartisipasi dalam diskusi arah pembangunan kota yang ramah bagi semua; kota/city yang solutif bagi permasalahan-permasalahan yang dialami oleh warganya. Di titik ini, kalangan marjinal (contoh: kaum miskin kota, perempuan, anak-anak, difabel, dan orang tua) perlu mendapatkan perhatian khusus atau afirmasi. Sebab jika mereka ditarungkan secara liberal di lapangan terbuka yang bebas dengan kalangan yang dominan (contoh: orang kaya, laki-laki, orang dewasa, non-difabel, dan orang segar/muda) maka dapat dipastikan kelompok marjinal akan semakin terpinggirkan.

Dominasi sekelompok orang, misalnya pemerintah dan kaki tangannya berupa para pakar profesional, tentang arah pembangunan kota dan pada saat yang bersamaan meminggirkan warga yang lebih luas, adalah sebuah bentuk konkret ketidakadilan. Ketidakadilan adalah bahasa sehari-hari dalam kota-urban yang kapitalistik seperti Jakarta. Ia termanifestasikan dalam berbagai rupa, misalnya itu tadi, penggusuran kawasan permukiman kaum miskin kota atas nama manajemen banjir tanpa sebuah penelaahan yang lebih mendalam tentang siapa saja yang berkontribusi dalam memroduksi dan mereproduksi kota yang berisiko tinggi terhadap banjir – untuk yang terakhir, misalnya, dalam konteks Jakarta, telunjuk dapat diarahkan ke konversi-konversi area hijau oleh kalangan elit baik di area serapan/tangkapan air di Puncak maupun di dalam kota.

ARB, ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta, dalam pandangan saya, membuka proses ketidakadilan yang beroperasi di Jakarta, terutama dalam hal manajemen banjir. Itu sebabnya dia menjadi bagian aktif dalam pembatalan beberapa pulau reklamasi, memasilitasi solusi banjir lokal-organik yang muncul dari inisiatif organisasi rakyat, dan mendorong partisipasi rakyat yang lebih luas dalam arah pembangunan kota.

Baca juga: Anies Baswedan Membawa Fenomena Baru Kampanye Pemilu 2024

Berakar pada praktik yang sudah dilakukan itu, menjadi jelas mengapa pasangan AMIN resisten terhadap Proyek IKN. Sebab, ditinjau dari logika yang terkandung dalam praktik di DKI Jakarta di bawah kepemimpinan ARB – dalam hal solusi terhadap masalah, keadilan, dan partisipasi – Proyek IKN justru cenderung berada pada kutub yang berseberangan, seperti yang dicoba dipaparkan oleh ARB dalam reaksinya terhadap pertanyaan-pertanyaan dari Ganjar Pranowo dalam debat capres yang disampaikan di awal tulisan ini.

Sampai di sini, saya berharap tulisan ini berhasil melaksanakan niatnya: menggali akar resistensi pasangan AMIN terhadap IKN dalam praktik yang sudah dilakukan oleh ARB (dan jajarannya bekerja sama dengan berbagai pihak) ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022; dan mendiskusikan makna resistensi pasangan AMIN terhadap IKN melalui lensa dua konsep kota: kota sebagai produk urbanisasi kapitalis dan kota sebagai entitas politik.

Apabila pemaparan ini – demi kehidupan sosial bersama yang lebih solutif terhadap masalah sehari-hari yang kita alami, lebih adil, dan lebih menghargai partisipasi publik yang luas – membantu Anda untuk memutuskan pilihan pasangan ca(wa)pres di kotak suara pada 14 Februari 2024 yang akan datang, bagi saya itu adalah sebuah nilai tambah.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top