Nasional

Siapa Mampu Memimpin Jakarta Sebagai Kota Global?

Siapa pemimpin jakarta kota global.

Penulis: Sidik Nur Toha

(Pemerhati Kebijakan Pembangunan Founder Insight Indonesia)

SETELAH diresmikannya UU Daerah Kekhususan Jakarta (UU No. 2 Tahun 2024) dan perpindahan Ibu Kota Negara ke Nusantara, Jakarta perlu menata diri. Sejak statusnya dinyatakan sebagai ibu kota negara pada tahun 1966, Jakarta menikmati sekian keistimewaan dengan segala fasilitas dan perkembangannya yang sangat pesat. Kota megapolitan ini pada tahun 2024, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), memiliki Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Rp 896,09 triliun, menyumbang sekitar 16 persen dari total PDB Indonesia sebesar 5.288,3 triliun.

Jakarta pun menjadi magnet bagi bisnis dan ekonomi di Indonesia. Berbagai tantangan setelahnya menanti, transformasi tata kelola pemerintahan, ruang hidup dan antisipasi penurunan ekonomi akibat berpindahnya pusat pemerintahan tidak bisa dielakkan. Sebab, sebagian besar penyumbang PDB Jakarta menurut BPS adalah Lapangan Usaha Administrasi Pemerintahan. Melihat serangkaian tantangan tersebut, setelah tidak menjadi Ibu Kota Negara, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana Jakarta harus mempersiapkan dirinya?

Baca juga: JAGA KOTA : Sudirman Said Paling Pas Pimpin Jakarta

Salah satu amanat dalam UU DKJ pasca pemindahan IKN, adalah Jakarta menjadi Kota Global(Global City) yang setara dengan kota-kota global lainnya di dunia. Jakarta mencoba menyejajarkan diri dengan kota-kota global lainnya seperti Singapura, New York, Tokyo, London, Bangkok, dan lain sebagainya. Menjadi kota global, artinya melakukan transformasi baik dari sisi penyelenggaraan pemerintahan, penataan ruang, kelayakan tinggal (livability) dan berbagai aspek lainnya. Dalam hal ini, Jakarta masih harus banyak berbenah.

Dalam studi yang dikeluarkan oleh Mori Foundation yang melakukan pemeringkatan Kota-Kota Global lainnya di dunia tentang Global Power City Index, Jakarta menempati posisi 46 dari 48 kota. Dalam studi Mori Memorial Foundation tersebut, ada enam indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kota global, yaitu: ekonomi, lingkungan, interaksi budaya, riset dan pengembangan, aksesibilitas dan kelayakan hidup. Dari kelima aspek tersebut, Jakarta hanya mendapatkan poin yang unggul dalam sisi kelayakan hidup. Mengapa? Salah satu alasannya adalah tingginya Upah Minimum Kerja (UMK) yang dimiliki oleh Jakarta.

Isu Strategis Jakarta

Sebagai kota yang berusaha menjadi setara dengan kota-kota global, serangkaian permasalahan menghadang. Dari sisi ekonomi, sumber-sumber pendapatan di Jakarta saat ini masih didominasi oleh pendapatan yang berasal dari pajak. Pendapatan lainnya, seperti yang berasal dari pengelolaan aset, pengelolaan badan usaha, pemanfaatan ruang masih sangat minim. Dari sisi pengelolaan aset misalnya, kontribusi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) masih sangat rendah, hanya berkisah Rp 100-200 miliar setiap tahun. Padahal valuasi atau nilai aset di Jakarta mencapai Rp 1.000 triliun. APBD Jakarta juga memiliki ruang keterbatasan fiskal yang tinggi karena tingginya beban pembangunan. Misalnya subsidi untuk transportasi umum ternyata tidak hanya dinikmati oleh warga Jakarta, tapi juga luar Jakarta sehingga perlu tersedia sumber-sumber pendapatan baru yang dapat menopang kebutuhan pembangunan, baik fisik maupun sosial warga Jakarta.

Masalah aksesibilitas di Jakarta juga masih menjadi pekerjaan rumah yang besar buat Jakarta. Meski ada banyak kemajuan yang nampak di Jakarta dengan hadirnya berbagai moda transportasi publik mulai dari Transjakarta, LRT, MRT, dan integrasi dengan Jaklingko, problem kemacetan masih menjadi salah satu momok bagi Jakarta sebagai kota global. Konsep pembangunan yang berorientasi transit (transit oriented development/TOD) yang umum di kota-kota global lainnya seperti di London dan lainnya, masih merupakan tugas besar bagi pemimpin-pemimpin di Jakarta. Dalam konsep TOD tersebut, aktivitas penduduk terpusat pada stasiun-stasiun transit berbasis rel dengan kawasan yang memiliki ragam fungsi, mulai dari hunian, komersial, perkantoran, penduduk dan lain sebagainya. Sehingga membuat mobilitas orang dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya tidak lagi mengandalkan moda transportasi pribadi seperti mobil. Sehingga, dalam konsep TOD tersebut, perpindahan aktivitas penduduk mampu diintegrasikan dengan transportasi berbasis rel yang mendukung pengurangan kemacetan di jalanan-jalanan yang ada di Jakarta.

Hunian terjangkau juga merupakan isu penting di Jakarta. Hanya 40 persen warga di Jakarta yang memiliki akses kepada hunian. Di kota-kota global lainnya, akses hunian/perumahan layak minimal harus bisa diakses di atas 75 persen warga kota. Di tengah keterbatasan lahan pembangunan dan pesatnya perkembangan, hunian kota masa kini tidak lagi berkonsepkan kepada kepemilikan rumah tapak. Tapi hunian vertikal. Kepemilikan rumah tapak membuat moda transportasi dari luar Jakarta tetap penuh sesak, kemacetan terus terjadi, dan potensial menghambat pertumbuhan ekonomi.
Kepemimpinan Kolaboratif, Teknokratis dan Partisipatif

Lalu soalnya adalah menghadapi pekerjaan rumah yang kompleks sebegaiaman di atas, pemimpin seperti apa yang dibutuhkan warga Jakarta? Menurut hemat penulis, pertama gubernur DKJ kelak harus kolaboratif. Ia harus mampu bekerjasama sama dengan semua pihak yang melibatkan banyak aktor, sektor dan bahkan juga daerah penyangga lainnya yang kerap disebut sebagai kawasan aglomerasi. Artinya, ia harus menjadi bagian dari super tim. Sebagaimana diamanahkan oleh UU DKJ (UU No.2 Tahun 2024) gubernur mesti bekerjasama erat dengan dewan aglomerasi yang kelak akan dipimpin wakil presiden. Selain bekerjasama dengan dewan aglomerasi ia harus bisa berkoordinasi dan berkomunikasi dengan baik bersama gubernur-gubernur dan bupati lain yang wilayahnya masuk Kawasan aglomerasi. Kerjasama untuk melahirkan kolaborasi apik semacam ini memastikan ia bukan sosok superman yang pintar sendiri tapi susah melebur ke dalam tim.

Pemimpin kolaboratif juga dibutuhkan untuk mengurai dan mampu menjadi penengah dalam memediasi beragam kepentingan warga yang bisa jadi bertolak belakang satu sama lain, baik kepentingan ekonomi, sosial politik maupun isu-isu kebudayaan (identitas, etnisitas, dan lain-lain). Pendeknya, menjadi pemimpin Jakarta harus bisa menjadi bapak bagi semua warga yang berbeda-beda.

Kedua, gubernur ke depan mesti memiliki keahlian teknokratis yang handal sekaligus partisipatoris: bersedia mendengar berbagai pihak dan meramu hasil keputusan bersama menjadi kebijakan yang implementatif sekaligus aspiratif. Dengan kata lain, dibutuhkan pemimpin teknokratis tapi juga mampu membumikkan ide-ide pembangunan yang kompleks menjadi satu rencana aksi yang melibatkan banyak pihak.

Ketiga, Jakarta pasca-IKN memerlukan transofrmasi fundamental. Pemerintah perlu merumuskan rencana pembangunan dan pengembangan kota agar selaras dengan visi Jakarta sebagai Kota Global. Maka pemerintahan yang diperlukan adalah pemerintahan yang proaktif dalam melakukan setiap penyelesaian masalah. Pemimpin seperti ini bukan hanya visioner, namun visinya sendiri harus dapat diimplementasikan secara berkelanjutan.

Baca juga: Ada Apa dengan Anies Baswedan dan Sudirman Said?

Salah satu kunci mendapatkan pemimpin seperti ini adalah calon gubernur DKI harus berkomitmen tidak menjadikan posisi gubernur sebagai batu loncatan untuk mengikuti kompetisi pemilihan presiden (pilpres) 2029. Gubernur yang ngebet ingin berkompetisi di Pilpres 2029 jelas tidak akan bisa berkomunikasi dengan banyak pihak karena akan dinilai oleh gubernur atau pemerintah pusat sebagai calon kompetitior.

Selain itu, sebagaimana kita ketahui bersama, sejak kita menetapkan pemilu serentak 2024, maka siapapun yang akan mengikuti kompetisi pilpres 2029 minimal memiliki persiapan penuh dua tahun sebelumnya. Jika calon presiden 2029 kelak adalah gubernur DKJ terpilih maka minimal sejak 2027 ia sudah mempersiapkan tim pemenangan dan memberitahukan kepada publik sosoknya sebagai kandidat calon presiden. Menurut hemat penulis, gubernur seperti ini jelas mendolimi warga Jakarta yang memilihnya karena tidak amanah menyelesaikan pekerjaannya selama lima tahun. Apakah warga Jakarta akan memilih calon gubernur yang zolim? Wallau alam***

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top