Nasional

Memahami Ide AMIN tentang Pembangunan Terpadu Desa dan Kota

Ide AMIN tentang pembangunan desa dan kota.
Bosman Batubara (Postdoctoral researcher pada Human Geography and Spatial Planning Department, Utrecht University)

Oleh: Bosman Batubara

(Postdoctoral researcher pada Human Geography and Spatial Planning Department, Utrecht University)

KEBARUAN.COM – Calon presiden Anies Rasyid Baswedan (ARB) mengkritik proyek Ibu Kota Negara Nusantara (IKN) sebagai satu modus mereproduksi ketimpangan. Dalam acara “Dialog Terbuka Muhammadiyah Bersama Calon Pemimpin Bangsa” yang digelar di Auditorium Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Solo, Jawa Tengah, pada Rabu, 22 November 2023, Anies menyampaikan (dikutip dari Youtube):

Ketika tujuan membangun kota baru dan ibukota baru adalah dengan alasan pemerataan, maka itu tidak menghasilkan pemerataan yang baru. Mengapa? Karena itu akan menghasilkan sebuah kota baru yang timpang dengan daerah-daerah yang ada di sekitarnya… Kalau mau meratakan Indonesia, maka, bangun kota kecil menjadi menengah, kota menengah menjadi besar, di seluruh wilayah Indonesia. Bukan hanya membangun satu kota di tengah-tengah hutan.”

Bagaimana sebenarnya konsep pembangunan kota kecil menjadi kota menengah dan kota menengah menjadi kota besar yang dimaksudkan oleh ARB, sehubungan dengan aspirasinya memberantas ketimpangan?

Baca juga: AMIN Kian Tak Terbendung di Mataraman, 130 Pesantren Ponorogo Deklarasikan Dukungan

Tulisan ini akan membahas kemungkinan peluang membuat aspirasi ARB di atas menjadi terlihat lebih nyata/riil. Kasus yang dipakai bukan kota kecil dan menengah, tapi desa dan kota, di mana relasi yang timpang di antara keduanya sangat tampak. Diskusi kasus dilakukan dengan cara meletakkan aspirasi ARB (dan pasangan ARB dengan Muhaimin Iskandar, AMIN) memberantas ketimpangan dalam perbincangan tentang kota, desa, dan apa yang sudah dilakukan ARB dan jajarannya ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022.

Kota hari ini adalah sebuah konsentrasi spasial di mana orang dan berbagai aktivitas komersial dikumpulkan. Kota adalah konsentrasi spasial dari mana ekstraksi surplus semakin mudah dilakukan oleh kelas atas (kapitalis). Dari kota para pengusaha lebih mudah mengekstrak surplus dengan berbagai macam cara, misalnya lewat aplikasi, lewat pelayanan atas hak dasar (air, rumah, pangan, dan lain-lain), di mana warga kota sepenuhnya menjadi konsumen.

Di sisi lain, kawasan perdesaan adalah sebuah bentang alam yang seringkali difungsikan untuk memenuhi kebutuhan kawasan kota atau perkotaan melalui aliran barang mentah, buruh, dan juga sebagai pasar bagi produk-produk yang diproduksi di kawasan (per)kota(an). Tak heran, dalam studi urbanisasi (proses-proses yang darinya kota tercipta) kontemporer, kawasan perdesaan sering disebut dengan zona urbanisasi perluasan, sebuah bentang alam yang dibuat menjadi operasional.

Mengingat timpangnya relasi antara kota sebagai area konsentrasi dan perdesaan sebagai area ekstraksi dan pasar produk-produk, maka berbagai intervensi program pembangunan acapkali berusaha menyasar titik-titik tertentu dalam relasi ini untuk mengurangi ketimpangan tersebut. Salah satu yang dapat diintervensi adalah rantai pasok komoditas, misalnya beras.

Sewaktu menjadi Gubernur DKI Jakarta, ARB sudah menginisiasi kegiatan yang sangat baik dalam rangka mengurangi ketimpangan kota dan desa. Misalnya, salah satu program Pemprov DKI Jakarta di bawah ARB adalah membeli beras dari petani Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebuah media online meliput penjelasan ARB tentang program tersebut sebagai berikut:

“Ini ikhtiar kita bersama semata-mata, agar di satu sisi, para petani di sini mendapatkan harga jual gabah yang lebih tinggi, sementara warga Jakarta mendapatkan harga beras yang terjangkau. Maka, setiap keluarga atau rumah tangga di Jakarta bisa tenang jika harga pangan stabil, dikarenakan jumlah pasokan aman,” (sumber: Kumparan).

Dari petikan di atas, secara substantif terlihat bagaimana ke dua sisi, petani padi di perdesaan dan konsumen beras di kota seperti Jakarta, sama-sama diuntungkan. Di satu sisi petani mendapatkan harga jual gabah yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan, misalnya, menjual beras produk mereka ke pasar yang saya asumsikan, dalam kondisi normal, memiliki beberapa tingkat rantai pasok (pengepul di perdesaan, kecamatan, dan seterusnya).

Di sisi lain, konsumen di Jakarta mendapatkan harga pangan dan pasokan beras yang stabil. Melalui program pengaturan rantai pasok komoditas seperti ini, secara terpadu kawasan perkotaan dan perdesaan diletakkan dalam sebuah kontinum yang saling terhubung, tapi pada saat yang bersamaan keduanya sama-sama mendapatkan keuntungan. Kota dan desa dalam kasus ini terpisah, berbeda, namun cenderung saling terhubung secara mutualis, terpadu, bukan melulu timpang-ekstraktif.

Model program lain yang sudah dilaksanakan oleh ARB sewaktu menjadi Gubernur DKI Jakarta yang relevan untuk mengintegrasikan pembangunan kota dan desa adalah model bisnis kooperasi. Di bawah kepemimpinan Anies, Pemprov DKI mendorong berdirinya koperasi-koperasi di kampung-kampung di Jakarta, misalnya Koperasi Akuarium Bangkit Mandiri yang mengelola Kampung Susun Akuarium.

Model tata kelola usaha bersama dalam bentuk kooperasi ini sangat relevan bukan hanya di kota, tapi juga di perdesaan. Terlebih, ide inisiasi kooperasi-kooperasi di perdesaan ini muncul pada visi-misi AMIN dalam bentuk “merevitalisasi BUMDes yang layak untuk dijadikan Koperasi” (halaman 39).
Agenda menginisiasi kooperasi-kooperasi di perdesaan bisa didorong lebih jauh sebagai satu solusi terhadap ketimpangan yang sering disuarakan Anies. Ini karena badan usaha dalam bentuk kooperasi dapat memberikan insentif lebih kepada warga desa.

Misalnya, lahan pertanian dengan tanaman komersial bisa dikelola oleh kooperasi petani di perdesaan, melalui sistem tata kelola dengan rumus 3-3. Tiga yang pertama meliputi mekanisme dari mana warga mendapatkan insentif melalui: (1) kepemilikan lahan; (2) pembagian sisa hasil usaha; dan (3) upah kerja. Tiga yang kedua adalah aktivitas terkoordinasi yang meliputi: (1) skema belanja atau pemenuhan kebutuhan untuk lahan pertanian; (2) arah pengembangan/inovasi teknologi; dan (3) pemasaran produk. Tiga yang ke-3 adalah skema penerima untung: (1) warga, melalui: sewa lahan, sisa hasil usaha, dan upah; (2) desa; dan (3) kooperasi.

Kooperasi perdesaan dalam paragraf di atas dapat tersambung ke wilayah perkotaan melalui, misalnya, tiga aktivitas terkoordinasi. Belanja untuk memenuhi kebutuhan lahan pertanian dapat dilakukan di kota. Inovasi teknologi pertanian dapat dikerjasamakan dengan universitas yang biasanya terletak di perkotaan. Pemasaran produk pertanian dapat menyasar konsumen yang, kalau bisa, terorganisir di perkotaan.

Baca juga: Berbagai Program Kongkrit AMIN untuk Penyandang Disabilitas

Kedua program yang sudah dikerjakan oleh ARB dan jajarannya di Pemprov DKI Jakarta di atas dapat dijadikan sebagai modal awal berbasis kinerja sebagai bentuk konkret usaha memberantas ketimpangan kota dan desa, dan relatif siap ditingkatkan skala-nya ke level nasional kalau pasangan AMIN menjadi pemenang pilpres 2024.

Kedua program itu, misalnya, dapat diletakkan dalam satu tajuk “membangun kota-kota dan pada saat yang bersamaan me-revitalisasi pedesaan”, di mana akan difasilitasi/didorong (1) relasi langsung antara konsumen di kota dan produsen di desa, karena sama-sama menguntungkan bagi kedua belah pihak, seperti yang secara substantif dijelaskan oleh ARB seperti yang dikutip di atas; dan (2) pendirian kooperasi-kooperasi di pedesaan agar insentif yang lebih besar mengalir ke kocek warga perdesaan. (*)

1 Comment

1 Comment

  1. Seniman

    January 4, 2024 at 1:35 pm

    Mantap cak Bosman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top