Nasional

Tanggul Laut Raksasa Melipatgandakan Krisis Sosial-Ekologis Pantura Jawa

Tanggul NCICD Jakarta ambles dan patah
Tanggul NCICD Jakarta ambles dan patah (Foto: Elisa S)

SEMARANG, KEBARUAN.COM — Pada Rabu, 10 Januari 2024 Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dan beberapa menteri Kabinet Indonesia Kerja membentuk gugus tugas pembangunan tanggul laut raksasa (giant sea wall) di sepanjang Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa. Proyek tanggul laut raksasa yang direncanakan menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) itu diklaim sebagai solusi mengatasi ancaman banjir rob dan tenggelamnya kawasan Pantura Jawa.

Koalisi Maleh Dadi Segoro menolak rencana tersebut dengan argumentasi yang kami bagi menjadi dua: dampak negatif tanggul laut dan alternatif terhadap kompleks masalah terkait-air di Pantura Jawa. Kami menilai bahwa pemerintah kembali gagal memahami akar masalah dari penyebab mengapa ada bagian Pantura Jawa yang tenggelam. Mengapa Prabowo tiba-tiba menunjukkan perhatian besar kepada Pantura Jawa, terutama di Jakarta dan Semarang, padahal selama 4.5 tahun sebelumnya kami tidak menemukan track record kepeduliannya terhadap Pantura Jawa.

Gambar Desain Tanggul Raksasa

Dampak Negatif Tanggul Laut:
1. Tanggul laut akan mengkonsentrasikan pembangunan dan aktivitas ekonomi di Pantura Jawa. Ini kontraproduktif dengan kondisi ekologi Pantura Jawa yang mengalami amblesan tanah. Pembangunan infrastruktur dan aktivitas ekonomi yang semakin padat pasti mendatangkan beban dan membutuhkan air, di mana kebutuhan akan air untuk rumah tangga dan industri di Pantura Jawa banyak dipenuhi melalui ekstraksi air-tanah-dalam. Jadi, konsentrasi ekonomi di Pantura Jawa yang datang bersama dengan tanggul laut akan semakin memperparah amblesan tanah melalui pembebanan fisik dan ekstraksi air-tanah-dalam yang akan semakin bertambah.

Baca jugaPerpres 78 Tahun 2023, Salah Satu Alasan Mengapa Rakyat Butuh Perubahan

2.Orientasi membangun tanggul laut mengalihkan perhatian dari usaha mengurangi terjadinya amblesan tanah.

3.Tanggul laut seperti yang sudah berdiri pada proyek Tol Tanggul Laut Semarang Demak (TTLSD), menguntungkan wilayah yang kuat seperti kawasan industri yang diutamakan pengembangannya, dan merugikan yang lemah seperti perkampungan nelayan karena semakin terpapar pada perubahan arus air laut yang menyebabkan abrasi pantai.

4.Tanggul laut menimbulkan ketimpangan geografis antara wilayah barat dan timur, antara wilayah daratan dan pesisir Pantura. Tanggul laut akan mengurangi dampak banjir di wilayah daratan, tapi merusak ekosistem di wilayah pesisir. Selain itu, wilayah Pantura bagian timur akan menerima resiko hempasan gelombang laut akibat beban pembangunan di wilayah Pantura bagian barat, terutama dalam kasus TTLSD.

5.Tanggul laut mempersempit dan menutup ruang tangkap nelayan.

6.Tanggul laut mematikan mangrove dan ekosistem pesisir.

7.Tanggul laut memperparah banjir, karena air dari darat terkepung di belakang tanggul, seperti kasus yang terjadi di Kampung Tambak Lorok, Semarang.

8.Tanggul laut menciptakan kesenjangan wilayah, antara perkotaan dan pedesaan, pembangunan terkonsentrasi di perkotaan.

Alternatif
Kami mendorong analisis dan pendekatan segi-banyak terhadap kompleksitas permasalahan terkait-air (ekstraksi air tanah, amblesan tanah, rob, abrasi pantai, dan ekosistem pesisir) di Pantura Jawa. Ini artinya mendorong pemerintah keluar dari pendekatan segi-satu yang mewujud dalam solusi tanggul laut yang cenderung hanya mau mengatur agar air laut tidak membanjiri daratan. Pendekatan lain, misalnya, adalah dari sisi manajemen air tanah agar ekstraksi air-tanah-dalam semakin dikurangi, agar laju amblesan semakin berkurang. Pemerintah, secara kontraproduktif justru mendorong program ekstraksi air-tanah-dalam, misalnya lewat program PAMSIMAS. Sementara pemenuhan kebutuhan air (untuk rumah tangga dan industri) yang bebas dari air-tanah-dalam, tidak terwujud sampai sekarang.

Dalam hal ekosistem pantai, hutan mangrove perlu ditumbuhkan kembali (dan bukan justru direlokasi atau dihancurkan) untuk menjadi pelindung alami pesisir Pantura. Contoh nyata ada di Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang. Di sana ada keluarga-keluarga yang menanam mangrove sejak tahun 2000-an hingga sekarang. Mangrove di sana sudah membentuk hutan-mangrove seluas 75 hektar. Manfaat yang dirasakan oleh warga adalah tidak adanya rob, memulihkan/memunculkan daratan baru, memukul mundur laut, dan menciptakan ekosistem baru sehingga nelayan mudah mendapat ikan. Pembangunan yang berorientasi pada manusia, tidak hanya infrastruktur semata, akan mendorong kota menjadi lebih nyaman ditempati oleh semua golongan masyarakat.

Baca jugaResistensi AMIN terhadap IKN: Akar dan Maknanya

Lembaga-lembaga dalam Koalisi Maleh Dadi Segoro:
1.Rujak Center for Urban Studies
2.Yayasan Amerta Air Indonesia
3.Sustainable Development Research Center at the Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang
4.WALHI Jawa Tengah
5.LBH Semarang
6.DPD Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Semarang
7.Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
8.Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM)
9.Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA)
10.Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI)
11.Komunitas Pekakota
12.Ekologi Maritim Indonesia (EKOMARIN)
13.Program Magister Lingkungan dan Perkotaan Unika Soegijapranata

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top