Nasional

Membandingkan Program Makan Siang Gratis, Prabowo dan Kebijakan Bagi-Bagi Roti, Rafael Trujillo

Oleh : Harsa Permata

Beri Mereka Roti dan Sirkus, Maka Mereka Tidak Akan Memberontak” Penyair Romawi, Decimus Junius Juvenalis/Juvenal

KEBARUAN.COM – Sebenarnya, pertama kali saya mendengar program paslon (Pasangan Calon) nomor urut 2, Prabowo-Gibran, yaitu “Makan Siang dan Susu Gratis”, ingatan saya melayang pada kebijakan bagi-bagi roti yang dilakukan oleh Diktator Dominika, Rafael Trujillo. Dalam film “In The Time of The Butterflies”, yang dirilis tahun 2001. Dalam film yang dibintangi oleh Salma Hayek dan Marc Anthony tersebut, terlihat dengan jelas bagaimana perlawanan Mirabal Bersaudara, Minerva, Mate, Dede, dan Patria, atau yang dikenal sebagai Las Mariposas (The Butterflies/Kupu-Kupu) terhadap Rezim Diktator Dominika di bawah kepemimpinan Rafael Trujillo.

Republik Dominika di bawah kediktatoran Trujillo memang saat itu cukup berkembang secara ekonomi. Akan tetapi, perkembangan tersebut tidak disertai dengan kebebasan politik. Demokrasi diberangus habis pada masa itu. Mengutip artikel “Republik Dominika Selama Era Rafael Trujillo”, yang ditulis Steve Diaz dalam livevernal.com, pertumbuhan ekonomi, terjadi dengan pesat, walaupun Trujillo dan kroninya merampok banyak kekayaan negara. Perawatan kesehatan, pendidikan, transportasi, mengalami kemajuan yang cukup berarti, hal ini ditandai dengan pembangunan rumah sakit, klinik, sekolah, jalan raya, dan pelabunan. Di sisi lain, demokrasi dihabisi, oleh Rezim Diktator Trujillo, dengan metode pembunuhan, penyiksaan, dan teror melampaui batas terhadap oposisi. Secara keseluruhan, 500 ribu orang dibunuh pada era Rezim Trujillo (Steve Diaz dalam livevernal.com, diakses 22 Januari 2024).

Baca jugaPilih Nasehat Machiavelli atau al-Ghazali?

Mirabal bersaudara adalah termasuk ke dalam kalangan oposisi yang ditangkap dan disiksa oleh Rezim Trujillo. Bahkan akhir hayat mereka, adalah dengan dipukuli sampai mati oleh para tukang pukul begundal Rezim Trujillo. Adegan ini pembunuhan brutal terhadap Mirabal bersaudara ini, mengakhiri film “In The Time of The Butterflies”.

Dalam film tersebut digambarkan juga oleh narator, yaitu Minerva Mirabal, yang diperankan oleh Salma Hayek, bagaimana Trujillo membagi-bagikan roti gratis pada rakyat Republik Dominika. Ini tergambar pada deskripsi narator dalam film tersebut “We tried to keep people informed, but Trujillo’s regime worked faster than we could. He was feeding people, a dictator’s favorite diet: Bread and Fear” (Dikutip dari dialog film “In The Time of The Butterflies, menit 56 – 58).

Artinya kurang lebih, yaitu bahwa Mirabal bersaudara dan para aktivis penentang kediktatoran Tujillo, sudah mencoba untuk menyadarkan rakyat, akan tetapi Rezim Trujillo membagi-bagikan kombinasi roti dan ketakutan pada rakyat. Rakyat kenyang tapi hidup dalam ketakutan, sehingga tidak terjadi pergerakan rakyat yang bisa menggulingkan Rezim Trujillo saat itu. Kekuasaan Trujillo yang cukup lama, yaitu sekitar kurang lebih 29 tahun, terjadi, karena didukung oleh Amerika Serikat dan para elit Dominika. Era Trujillo berakhir, setelah diktator tersebut terbunuh, dengan cara ditembak oleh oposisi, pada 30 Mei 1961 (Steve Diaz, dalam livevernal.com. Diakses 22 Januari 2024).

Gibran sendiri, seingat saya, dalam debat cawapres pertama, pernah menganalogikan rakyat sebagai penghuni kebun binatang, yang perlu digemukkan. Lengkapnya, Gibran bilang bahwa kubunya tidak mau seperti berburu dalam kebun binatang, akan tetapi, kubunya ingin memperluas kebun binatangnya, menanaminya, dan menggemukkan binatangnya. Yang bersangkutan menyampaikan ini, untuk menjawab pertanyaan Prof Mahfud terkait realisasi dari program menaikkan rasio pajak sekitar 23%, yang diusung oleh kubu Prabowo-Gibran (Sumber: artikel berita “Debat Cawapres, Gagasan Substantif untuk Indonesia dan Etika Berdebat”, dalam kebaruan.com, diakses 22 Januari 2024).

Artinya, dari argumentasi Gibran ini, terlihat bahwa prioritas kubunya, jika berhasil berkuasa dan memenangi pemilu, adalah bukan demokrasi, melainkan adalah peningkatan kesejahteraan rakyat versi mereka (ini terlihat dari sikap kubu Prabowo -Gibran yang dengan jelas tidak peduli pada etika politik. Suara-suara pengkritik, biasanya dikategorikan mereka sebagai sikap nyinyir belaka. Kata-kata Prabowo “ndasmu etik”, dan arogansi Gibran yang melecehkan lawan debatnya, dalam debat cawapres kedua, mewakili sikap kubu 02 ini, terhadap etika politik dan etika secara umum). Sehingga rasio pajak bisa dinaikkan secara drastis, sampai 23%. Program makan siang dan susu gratis, merupakan salah satu program utama kubu Prabowo-Gibran ini, untuk kesejahteraan rakyat versi mereka itu.
Sikap menghalalkan segala cara, supaya Gibran bisa dicawapreskan, hal yang kemudian juga tidak dibarengi, dengan sikap Presiden Jokowi yang berusaha untuk netral, adalah bukti lain dari ketidakpedulian kubu 02 pada etika politik dan demokrasi. Sebagaimana kita tahu, Jokowi ini adalah bapak dari cawapres kubu 02, yaitu Gibran Rakabuming Raka. Artinya, intervensi kekuasaan negara, yang dipegang oleh Pemerintahan Jokowi, sewaktu-waktu bisa terjadi, dalam proses pemilu (Pemilihan Umum). Idealnya, kalau berbicara etika politik,maka presiden harus netral, ketika anaknya maju dalam kontestasi pilpres. Bagaimana wujud netralitas presiden tersebut? Yaitu minimal Jokowi cuti, ketika proses pemilu tengah berlangsung, dari sejak pendaftaran paslon, sampai pemilu atau pilpres selesai. Maksimalnya, Jokowi seharusnya mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia (R.I), saat anaknya maju sebagai cawapres.

Realitasnya, Jokowi tidak cuti ataupun mundur dari jabatannya sebagai Presiden R.I. Yang bersangkutan malah mengadakan pertemuan tertutup dengan Prabowo, sebelum debat capres kedua. Selain itu, Jokowi juga pasang badan membela Prabowo, ketika banyak melakukan blunder dalam debat capres kedua.

Baca jugaPrabowo Dan Politik Kebohongan.

Akhir kata, dalam Pancasila, memang sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, menjadi tujuan, akan tetapi, hal tersebut tidak berarti mengeliminir demokrasi, yang tertuang dalam sila keempat, Pancasila, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan, dalam Permusyawaratan Perwakilan”. Sikap sebuah kelompok, yang menghalalkan segala cara dan mengenyampingkan etika politik dan etika secara keseluruhan, pada dasarnya adalah sangat berbahaya, dan selaras dengan filsafat politik Niccolo Machiavelli, dalam bukunya “Il Principe”, yang berisikan berbagai saran tentang bagaimana mendapat dan mempertahankan kekuasaan dengan menggunakan cara apapun, bahkan cara-cara yang tidak bermoral sekalipun (Dikutip dari artikel Nadirsyah Hosen yang berjudul “Pilih Nasehat Machiavelli atau al-Ghazali?”, dalam kebaruan.com, diakses 22 Januari 2024).

Untuk itu, supaya Republik Indonesia yang kita cintai ini, tidak menjadi negara otoriter lagi, seperti Republik Dominika di bawah kediktatoran Rezim Trujillo, atau Republik Indonesia, di bawah kediktatoran Rezim Orde Baru, maka sebaiknya, jangan biarkan kelompok tersebut mendapatkan kekuasaan. Karena dengan demikian, maka nasib demokrasi akan sama dengan dendeng yang diberikan pada anjing, akan dilahap habis oleh anjing tersebut tanpa sisa.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top