Nasional

Chance Never Come Twice

Foto Smith Alhadar (Sumber : dailynewsindonesia.com)


Oleh : Smith Alhadar
(Penasihat Institute for Democracy Education/IDE)

KEBARUAN.COM – Di bawah langit yang murung, dengan takzim saya mengenang kata2 Soetan Sjahrir: “Saya mencintai bangsa ini, terutama karena saya mengenal rakyatnya sebagai orang-orang yang kalah.”

Sjahrir, perdana menteri pertama, telah wafat di pembuangan 58 tahun silam, tapi nasib rakyat bangsa masih belepotan dengan kesengsaraan dan keterbatasan sosial. Masih banyak orang Indonesia yang menjadi kuli di negeri sendiri dan di mancanegara.

Bahkan, 9 juta orang lainnya tidur dalam perut kosong. Tapi pemimpin tak merasa bersalah, seolah kemelaratan sudah menjadi takdir rakyat di negeri ini. Dari dulu hingga sekarang. Dengan angkuh dan licin seperti monyet yang marah, pemimpin dan paslon yang didukungnya melemparkan recehan kepada kerumunan orang yang terluka seperti memberi makan bebek dengan maksud menipu.

Memang seperti biasanya, menjelang pemungutan suara pilpres bermunculan gimik dan tipu daya yang inovatif dari paslon gemoy-samsul untuk merampok hati dan pikiran rakyat. Ironisnya, paslon itu dibantu pemimpin yang sedang berkuasa — mengklaim bansos yangg menghina itu datang dari kantong pribadi. Mengapa tega mempecundangi rakyat miskin yang sudah kalah?

Baca jugaMembandingkan Program Makan Siang Gratis, Prabowo dan Kebijakan Bagi-Bagi Roti, Rafael Trujillo

“Malu dan sportivitas bukan budaya kita,” katanya dgn dada membusung, “Biarlah itu milik negara-negara beradab.” Rasanya Sjahrir masih menangis di alam barzah. Tiba-tiba renungan saya buyar oleh suara gemerisik.

Seorang pemulung sedang mengais-ngais di tong sampah. Karungnya masih kosong dan dia tidak juga menemukan sampah yang dicari. Merosotnya daya beli akibat inflasi — menyebabkan menurunnya konsumsi masyarakat — yang berdampak juga pada nafkah pemulung. Tapi pemimpin masih tertawa-tawa di Istana. Dengan pakaian kekuasaan yang pendek dan sempit, ia berkata “Kerja, kerja, dan kerja biar kalian bisa makan.”

Sementara si pemulung mengais-ngais dengan wajah gusar, Satpam perumahan datang mengusirnya. Orang-orang seperti pemulung dan pengemis mungkin menimbulkan rasa takut orang-orang berpunya. Bahkan mereka dihalau dari jalan bila pemimpin akan lewat.

Saking menjijikannya penampilan mereka hingga nyaris tak ada orang yang bersimpati pada mereka, terutama pemimpin dan calon penerusnya karena dianggap tak memberi insentif elektoral kepada mereka. “Biarlah derita kau tanggung sendiri.” Mereka lupa bahwa mengentas kaum celaka adalah kewajiban prioritas para pemimpin.

Di masa kampanye ini, tingkah laku pemimpin dan paslon yang didukungnya memang terlihat aneh. Sekonyong-konyong penguasa berubah menjadi serigala berbulu domba. Ia tak segan berkampanye untuk anaknya dengan berdusta sepanjang hari di pasar-pasar untuk berkelit dari dusta yang dilakukan sebelumnya. Sembako milik rakyat pun diklaim sebagai miliknya. Cis, tidak tau malu!

Sementara capres yang dulu dikenal berkarakter tegas dan berani ujug-ujug berubah menjadi gemoy. Astaghafirullah, quo vadis Jenderal? Sepadankah jabatan yang ingin direnggut dengan cara mengubah identitasnya sehingga membuat ia tak lagi dikenal? Bisakah kita memberi kepercayaan pada manusia jenis ini? Manusia-manusia yang sudah surut di banyak negara menghadapi zaman now yang tak lagi dimengerti mereka.

Dulu saya mendukung gemoy. Tapi sejak dia berkhianat kepada rakyat dengan merangkul-menjilat musuh rakyat, saya bertobat kpd Tuhan. Ternyata dia bukan tokoh berjiwa perwira yang timbul tenggelam bersama rakyat.

Dia hanya serumpun dengan pemimpin yang dulu menjadi musuhnya, yang berjoget dari panggung ke panggung sehingga kera tua pun memperbaiki duduknya dengan perasaan cemas.

Dia adalah calon pemimpin yang mengglorifikasi kekuatan sebagai satu-satunya cara untuk berjaya. Dengan mengutip pernyataan filosof Yunani kuno, Thucidides, dia berkata: Orang kuat akan bertindak sesuai kehendak hatinya, sementara orang lemah sudah seharusnya menderita. Ia tak percaya bahwa kerja sama dengan semua orang, termasuk dengan yang lemah, adalah cara yg lebih efektif dan mulia untuk bertahan hidup dan membangun peradaban. Pemimpin yang mengagungkan kekuatan akan menjustifikasi penindasan terhadap yang lemah, yang justru diproduksi oleh pemimpin yang khianat terhdp amanat konstitusi.

Wakil paslon ini, si Sansul, juga bukan orang berbudaya, jujur, dan menjauhi korupsi, kolusi, dan nepotisme. Seperti bapaknya, dia seorang pembohong, songong, dan bodoh. Sampai hati dia mengorbankan kesempatan anak-anak muda lain yang lebih cerdas dan berintegritas dengan menebeng kekuasaan bapak dan pamannya.

Yang juga menyedihkan, dia tak punya malu dan ambisius sehingga menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Mestikah paslon koruptif ini kita beri mandat untuk mengelola negara demi menyejahterakan rakyatnya?

Sambil bergegas meninggalkan halaman perumahan, pemulung itu menjerit, “Hanya orang dungu yang mau pemerintahan ini berlanjut.” Saya terkejut bukan kepalang. Mungkin siksaan hidup telah menyalakan kesadaran si pemulung akan realitas sosial-politik yang tercipta sejak 9 tahun terakhir.

Kemiskinan meluas dan pengangguran membesar hingga ke pelosok desa, tapi pemimpin sibuk mempromosikan proyek-proyek mercusuar yang dibiayai dengan utang jumbo. Proyek Ibu Kota Nusantara yang mubazir merampas anggaran APBN hingga hampir Rp 500 triliun. Padahal, IKN adalah proyek tidak layak secara moral, ekonomi, rasio, dan iptek — merusak lingkungan, tidak memberi nilai tambah bagi pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, dan ditertawai pakar dalam dan luar negeri, justru hendak dilanjutkan paslon gemoy-samsul. Sepanjang sejarah Indonesia, belum pernah kita memiliki pemimpin setolol dan pongah ini.

Tapi itu belum semua. Indeks Demokrasi, Indeks Korupsi, Indeks Pembangunan Manusia, dan hukum anjlok drastis. Tapi pemimpin masih mengigau bahwa kita akan menduduki peringkat keempat dunia dalam skala ekonomi pada 2045 saat kita merayakan seabad usia Indonesia merdeka. Saya tak perlu banyak bicara tentang omong kosong ini, toh kita telah ditipu berkali-kali sehingga sebagian cebong pun menangis.

Anehnya lagi, para elit di dalam dan di luar kekuasaan — yang tidak setuju dengan kebijakan-kebijakan penguasa yang ngawur dan inkonstitusional — hanya ngedumel. Mereka bahkan hanya “menonton” kecurangan-kecurangan pilpres yang tak perlu orang pandai untuk menyadarinya. Para elit partai lebih mendahulukan hitung-hitungan untung-rugi politik ketimbang kemaslahatan rakyat, bangsa, dan negara.

Belakangan oposisi kian membesar, yang datang dari berbagai strata sosial, yang menyerukan pemakzulan pemimpin demi terlaksananya pilpres yang jurdil dan punya legitimasi. Tapi suara mereka bak ditiup angin gurun.

Haruskah kita membiarkan kebobrokan ini terus berlangsung? Yang mungkin saja berujung pd kemenangan gemoy-samsul dengan cara curang? Amit-amit jabang bayi! Mereka akan meneruskan kerusakan gigantic yg dibuat pemerintah. Di tangan pemuja kekuatan, kekuasaan, kekerasan, nepotisme, dan pembohong, hanya akan lebih jauh mencelakakan bangsa ini. Naudzubillah minzalik!

Belum cukupkah kita dibohongi dan dipecundangi selama hampir satu dekade? Negara yang kaya sumber daya alam ini tidak seharusnya melahirkan rakyat yang bodoh dan miskin. Kemiskinan bukan takdir. Bukan juga ditetapkan Tuhan Yang Maha Pengasih atas rakyat.

Kemiskinan adalah produk salah urus pemimpin yang, karena ambisi pribadi dan keluarga, mengelola negara secara ugal-ugalan.

Adakah jalan keluar dari labirin ketertindasan ini? Allah berfirman: Aku tidak akan mengubah suatu bangsa sampai bangsa itu mengubah nasibnya sendiri. Ada dua jalan yang tersedia untuk mengubah nasib kita.

Pertama, pemakzulan pemimpin. Gagasan ini logis berangkat dari keyakinan bahwa mustahil ayah dari si Samsul akan membiarkan pemenangnya adalah paslon pengusung perubahan. Kalau ayah si Samsul berani melanggar konstitusi — salah satunya melalui manipulasi di MK yang merupakan pelanggaran etika berat — maka mencurangi pilpres merupakan hal yang mudah.

Baca jugaKurang Baca Literasi dan Hanya Menghapal, Greenflation Versi Gibran Sesimpel Itu ?

Tapi jalan pemakzulan tidak mudah di tengah pilpres yang tinggal beberapa hari lagi. Apalagi DPR melempem. Padahal, impeachment harus melalui proses politik di DPR dan proses hukum di MK. Isu people power pun sudah meredup. Kedua, membiarkan pilpres berlangsung sambil membangunkan rakyat akan bahaya bila paslon gemoy-samsul memenangkan pertarungan. Bisa terjadi chaos bila rakyat tak percaya pada hasil pilpres. Juga disertai ikhtiar luar biasa untuk meningkatkan pengawasan terhadap proses penghitungan suara secara berjenjang.

Ini juga tidak mudah lantaran lembaga-lembaga penyelenggara pilpres serta institusi-institusi strategis negara sudah dikooptasi ayah dari si Samsul. Mereka akan dimobilisasi dengan berbagai cara untuk memenangkan paslon yang didukung. Gelagatnya sudah terlihat terang benderang hari-hari ini. Tapi dengan usaha ekstra keras dan militansi, insya Allah makar akan gagal.

Tapi itu belum cukup. Kalau ingin perubahan untuk menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh anak bangsa tanpa kecuali, coblos paslon yang terbukti cerdas, amanah, dan istikamah. Kalau ingin rakyat maju, sejahtera, dan tidak lg menjadi pecundang — sehingga arwah Soetan Sjahrir bahagia di alam barzah — maka coblos paslon AMIN. Memilih paslon AMIN bukan pilihan, melainkan kewajiban berbasis moral dan ilmu pengetahuan. Ingat, chance never come twice. So, now or never.

Tangsel, 23 Januari 2024

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top