Nasional

Membaca Rekam Jejak Kelam Prabowo dalam Buku Hitam Prabowo Subianto

Cover Depan Buku Hitam Prabowo Subianto (SCRIBD)

Oleh : Harsa Permata

KEBARUAN.COM – Buku ini, sejujurnya saya peroleh setelah pertengahan Desember 2023. Akan tetapi, baru sempat saya baca, pada akhir Januari kemarin. Buku yang diterbitkan oleh penerbit Phoenix Publisher, dari Yogyakarta ini ditulis oleh Anwar Furgudyama S.Fil.I, ia adalah anggota Gerak 98 (Gerakan Aktivis 98), salah satu organ yang mewadahi para mantan aktivis 98, sepertinya. Penyunting buku ini adalah Aprilian Cena, sementara perancang sampul dan penata isi, adalah Bayu Hidayat dan Ahmed Ghoseen. Dengan jumlah halaman yang tidak terlalu tebal, yaitu 195 halaman, tidak begitu sulit sebenarnya untuk mencerna buku ini, apalagi ada beberapa foto, yang mendukung penjelasan dan pemaparan data dalam buku ini.

Secara keseluruhan buku ini berisikan 7 bab, dan terbagi dalam tiga bagian, yaitu sejarah kelam Prabowo Subianto, masa sekarang, dan prediksi masa yang akan datang, bagaimana dampaknya terhadap demokrasi, jika Prabowo bisa berkuasa dengan memenangi Pilpres (Pemilihan Presiden) 2024. Saya terus terang, tertarik untuk memahami bagaimana sejarah hidup Prabowo Subianto, khususnya dalam kaitannya dengan predikat pelanggar HAM, yang dia sandang sejak awal era Reformasi.

Baiklah, mari kita mulai, bab pertama, secara umum, mengulas dan memaparkan tentang bagaimana keterlibatan Prabowo dalam penculikan aktivis. Dimulai dari Surat Keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), terkait pemberhentian Prabowo dari Dinas Kemiliteran, pada tanggal 21 Agustus 1998. Hasil sidang dari DKP yang dibentuk oleh Jenderal Wiranto, pada tanggal 3 Agustus 1998 ini, adalah memberhentikan Prabowo dari dinas ketentaraan, dan Muchdi Purwoprandjono (Muchdi PR) sebagai Danjen Kopassus (Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus). Kopassus adalah pasukan elit TNI (Tentara Nasional Indonesia) Angkatan Darat (AD), yang dipimpin oleh Danjen, dengan pangkat bintang dua, atau Mayor Jenderal.

Baca jugaMembandingkan Program Makan Siang Gratis, Prabowo dan Kebijakan Bagi-Bagi Roti, Rafael Trujillo

Dalam buku ini juga disampaikan sebuah ironi besar, yaitu dari temuan DKP yang menyatakan bahwa Prabowo terlibat dalam tindak pidana penculikan aktivis pro-demokrasi, di akhir kekuasaan Rezim Orde Baru tersebut, akan tetapi, yang bersangkutan tidak diadili terkait tindak pidananya tersebut, dan karena itu tidak dihukum juga, sebagai konsekuensi dari tindakannya itu. Prabowo, sebagaimana kita ketahui, hanya diberi sanksi administratif, yaitu pemberhentian dari dinas TNI. Inilah kemudian yang sampai sekarang digaungkan oleh kubu Prabowo, bahwa karena yang bersangkutan tidak pernah diadili secara pidana, terkait berbagai kasus pelanggaran HAM yang dituduhkan padanya, maka Prabowo tidak bersalah. Salah satunya adalah yang disampaikan adik Prabowo, yaitu Hashim Djojohadikusumo, pada bulan November 2023, yaitu bahwa tidak ada bukti sama sekali keterkaitan antara Prabowo dan pelanggaran HAM, serta penculikan aktivis 1998 (Sumber: kompas.com, diakses 01/02/2024).

Memang yang diadili di Mahkamah Militer terkait penculikan aktivis prodemokrasi dalam kurun waktu 1997-1998, adalah anggota pasukan penculik yang bernama Tim Mawar. Dalam halaman 26, buku ini disebutkan bahwa tim ini berisikan 11 orang anggota TNI AD, dari pangkat Mayor sampai Sertu (Sersan Satu). Prabowo tidak ikut diadili dalam Pengadilan Militer ini, padahal rekomendasi dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Tanggal 13-15 Mei 1998, adalah bahwa Letjen Prabowo dan semua pihak yang terlibat, harus dibawa ke Pengadilan Militer (lihat halaman 25).

Komandan Tim Mawar, yaitu Mayor Bambang Kristiono, dalam pengadilan mengaku bahwa ialah yang mendalangi tindakan penculikan aktivis, hal yang membuat ia dipecat secara permanen dari TNI. Ada fakta menarik lainnya, dalam halaman 28, disebutkan juga bahwa salah seorang mantan anggota Tim Mawar, pada masa sekarang ternyata mencapai jabatan perwira tinggi, menjabat sebagai Panglima Kodam Jaya (Pandam Jaya), ia adalah Mayor Jenderal Untung Budiharto.

Bambang Kristiono, walaupun dipecat dari TNI, yang bersangkutan malah tetap dekat dengan Prabowo, dan diberi jabatan penting di berbagai perusahaan milik Prabowo dan keluarganya. Ia juga menduduki posisi strategis dalam partainya Prabowo, Partai Gerindra, sebagai anggota Dewan Pembina, dari tahun 2016 sampai 2023. Selain Bambang, dalam halaman 29 sampai 31, disebutkan juga beberapa anggota Tim Mawar, yang diberi jabatan oleh Prabowo, dalam Kementerian yang dikepalainya, yaitu Kementerian Pertahanan (Kemenhan).

Sebenarnya bukti keterlibatan Prabowo dalam penculikan aktivis, cukup lengkap disampaikan dalam Bab 1, buku ini. Dari mulai keputusan DKP, dokumen rahasia Amerika Serikat, sampai pengakuan Prabowo dalam sebuah wawancara, dengan majalah Panji edisi 27 Oktober 1999. Wawancara ini dipaparkan dalam halaman 40-41, buku ini. Prabowo menyatakan bahwa penculikan aktivis merupakan bagian dari aksi penyelidikan terhadap para aktivis radikal pada masa itu. Ia juga merasa tidak bersalah secara moral, karena para aktivis yang diculik, menurut Prabowo, adalah orang-orang yang berniat berbuat kejahatan, yang bertentangan dengan HAM (Hak Asasi Manusia). Selain itu, Prabowo menganggap bahwa penculikan itu sangat perlu, untuk mwnjaga keamanan dan demokrasi. Dalam wawancara tersebut, Prabowo merujuk pada peristiwa ledakan bom di Rumah Susun Tanah Tinggi, sebagai alasan untuk melakukan penculikan. Pada halaman 42, juga disampaikan secara singkat, bantahan dari Faisol Reza, salah seorang anggota PRD (Partai Rakyat Demokratik) saat itu, terkait tuduhan bahwa mereka akan melakukan teror. Faisol Reza menyampaikan bahwa mereka, para aktivis PRD hanya korban, dan pihak militer yang menyebarkan isu bom tersebut.

Hal yang penting untuk dicermati dalam bab ini, adalah bagian yang mengulas tentang 13 orang aktivis yang masih hilang. Pembahasan tentang ini dimulai dari halaman 49 sampai 58. Terkait informasi tentang 13 orang yang masih hilang ini, pada halaman 53, dalam wawancara dengan majalah Panji, Prabowo menyatakan bahwa ia lupa dan tidak meyakini bahwa 13 aktivis ini adalah orang-orang yang diculik oleh tim yang berada di bawah komandonya. Yang menarik adalah, dalam halaman 53 ini, juga diungkap fakta yang berdasarkan atas kesaksian korban penculikan. Faktanya adalah, para saksi, atau para aktivis yang telah diculik dan dikembalikan, mengaku bahwa mereka sempat bertemu dengan para aktivis yang belum kembali tersebut, saat mereka diculik.

Saya mengutip, keterangan saksi, Mugiyanto di halaman 55-57, ia mengaku bahwa saat disekap di markas Kopassus yang berloasi di Cijantung, ia tahu bahwa Herman Hendrawan (salah satu aktivis yang masih hilang) ada di tempat yang sama dengan dirinya. Ketika penutup mata, yang dikenakan pada dirinya dibuka, Mugi bisa melihat dan berkomunikasi dengan penghuni sel di sebelah sel tempat dia disekap. Mugiyanto, Raharjo Waluyo Jati, dan Faisol Reza juga bisa mengenali suara Herman yang menyanyikan lagu “Widuri” dan “Camelia” di sel tersebut.

Bab 2, kurang lebih berisikan korelasi antara Prabowo dengan kerusuhan Mei 1998. Seperti pada halaman 76-77, disebutkan bahwa Prabowo menempatkan sniper (penembak jitu) di jembatan layang daerah Grogol, yang dekat dengan Kampus Trisakti. Para sniper ini menyamar sebagai brimob, sasaran mereka adalah beberapa mahasiswa Trisakti yang tengah berdemonstrasi di kampusnya, pada tanggal 12 Mei 1998.

Pada halaman 77 juga digambarkan bagaimana sejumlah preman, yang tergabung dalam pasukan Tidar, menyamar dan mengenakan baju seragam SMA atau jaket almamater Trisakti. Pasukan Tidar ini adalah kelompok yang berisikan orang-orang yang telah dikeluarkan dari Akabri (Akademi Angkatan BersenjataRepublik Indonesia), yang direkrut dan dirawat oleh Prabowo. Referensi pada halaman 77 ini adalah laporan temuan tim relawan dan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Pasukan Tidar yang menyamar inilah yang kemudian membakar pom bensin dan toko-toko milik etnis Tionghoa.

Pada halaman 78, dijelaskan juga bagaimana Prabowo mengkonsolodasikan para anak buahnya, yang tergabung dalam Tidar, pencak silat Kisdi, preman-preman daerah Cengkareng, Tanah Abang, Pemuda Pancasila, dan lain-lain, untuk melakukan pembakaran Glodok building, Harco, Orion Plaza, mall-mall seluruh Jakarta, dan pembakaran hidup-hidup lebih dari 1000 orang, untuk membuat suasana menjadi rusuh dan kacau (halaman 79). Motifnya adalah supaya Soeharto mencopot Wiranto, karena tidak bisa mengamankan negara dari kerusuhan, dan menggantinya dengan Prabowo.

Bukti keterlibatan Prabowo dalam kerusuhan Mei 1998, diungkap kembali pada halaman 87, dengan mengutip laporang Tim Gabungan Pencari Fakta. Nama Prabowo disebut dengan jelas dalam laporan tersebut, “Untuk itu, pemerintah perlu melakukan penyelidikan terhadap pertemuan di Makostrad pada tanggal 14 Mei 1998 guna mengetahui dan memngungkap serta memastikan peran Letjen Prabowo dan pihak-pihak lainnya, dalam seluruh proses yang menimbulkan terjadinya kerusuhan”.

Bab 3, membahas tentang seputar polemik upaya kudeta Prabowo terhadap Presiden Habibie, yang menggantikan Soeharto. Karena tindakan Prabowo yang memobilisasi pasukan Kostrad dari luar Jakarta ke Jakarta, tanpa komando dari Panglima TNI ataupun Presiden RI, maka disinyalir, bahwa yang bersangkutan akan mengkudeta Habibie. Walaupun, Prabowo membantah dan mengaku bahwa langkahnya tersebut adalah untuk mengamankan presiden (halaman 91). Prabowo saat itu, juga meminta Habibie untuk membatalkan keputusannya, akan tetapi Habibie tidak bergeming, dan tetap memutuskan bahwa Prabowo dicopot dari jabatannya sebagai Pangkostrad sebelum matahari terbenam. Di beberapa halaman berikutnya, juga digambarkan, bahwa Prabowo dalam beberapa kesempatan, sering melontarkan pernyataan menyesal tidak mengkudeta Habibie, dengan gaya guyonan.

Bab 4 mengupas tentang bagaimana rekam jejak berdarah Prabowo di Timor Leste dan Papua. Di Timor Leste, salah satu jejak darah Prabowo adalah keterlibatannya dalam pembunuhan pahlawan perlawanan Timor Leste, Nicolau Lobato (halaman 113). Di Papua, dalam peran sentralnya pada Operasi Mapenduma, operasi militer pembebasan para peneliti dalam dan luar negeri, yang disandera oleh Organisasi Papua Merdeka, pimpinan Kelly Kwalik (halaman 120). Pada halaman 124 digambarkan bahwa Prabowo tetap memaksakan operasi militer untuk pembbebasan sandera, walaupun sebenarnya sudah terjadi kesepakatan bahwa sandera akan dipindahkan secara damai di bawah kepemimpinan Siti Hardiyanti Rukmana atau Tutut Soeharto, sebagai Ketua Palang Merah Indonesia. Operasi Mapenduma ini menwaskan 8 warga sipil dan membakar beberapa kampung di lokasi tersebut (lihat halaman 127).

Bab 5 dan 6, kurang lebih membahas, bagaimana aksi Prabowo untuk merebut kekuasaan dengan jalan parlementer, setelah dicopot dar dinas ketentaraan, dan sepulang yang bersangkutan dari Yordania. Ia sempat Ikut konvensi capres Partai Golkar, pada tahun 2004, tapi kalah dari Wiranto. Prabowo kemudian mendirikan Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya), yang kemudian menjadi kendaraannya untuk berlaga dalam kontestasi Pilpres 2009, sebagai cawapres pendamping Megawati, dan 2014, 2019, 2024, sebagai capres. Pada kontestasi Pilpres 2024, Prabowo maju sebagai capres dengan didampingi oleh putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka. Hal yang membuat Jokowi dituding membangun politik dinasti, karena mengorkestrasi pencawapresan putranya, dengan menggunakan berbagai cara, salah satunya melalui mengubah undang-undang pemilu, lewat putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang diketuai oleh saudara iparnya, Anwar Usman. Bab 7, penutup, berisikan kesimpulan dari seluruh bab sebelumnya, yang menyatakan bahwa Prabowo merupakan ancaman serius bagi demokrasi.

Baca jugaPrabowo Mau Bangun Puskesmas Canggih, Rekan Indonesia : Cuma Bangun Citra Politik Saja.

Secara keseluruhan, buku ini sebenarnya menarik dan mengungkap berbagai fakta dan data, dari hal-hal yang masih menjadi polemik, dan perdebatan, seperti keterlibatan Prabowo dalam penculikan aktivis, dan berbagai bentuk pelanggaran HAM lainnya, seperti kerusuhan Mei, dan lain-lain. Persoalannya, adalah, jika ingin dijadikan sebagai sebuah rujukan sejarah, maka sumber data dan fakta yang diungkap dalam buku ini, seharusnya lebih diperkaya lagi, supaya lebih objektif.

Beberapa tuduhan serius memang diarahkan pada Prabowo dalam buku ini, seperti terlibat dalam penculikan aktivis, kerusuhan Mei 1998, dan jejak berdarah di Timor Leste, serta Papua. Akan tetapi, karena memang belum ada pegadilan dan putusan hukum terhadap Prabowo atas berbagai tuduhan tersebut, maka kubu Prabowo bisa selalu mengelak dari tuduhan tersebut, yang selalu disuarakan oleh para aktivis HAM dan prodemokrasi, serta kerap membesar, ketika yang bersangkutan maju dalam kontestasi Pilpres. Ironisnya lagi, sistem politik Indonesia, tidak mempersoalkan orang seperti Prabowo yang memiliki rekam jejak bermasalah dalam hal kemanusiaan dan masih belum jelas posisinya secara hukum, dalam berbagai kasus pelanggaran HAM, untuk maju dalam kontestasi Pilpres.

Seharusnya memang, pengadilan HAM terhadap Prabowo diadakan, sehingga ia dan korban pelanggaran HAM, bisa mendapat keadilan, dan jelas bagaimana posisi Prabowo dalam berbagai kasus HAM yang dituduhkan padanya. Sayangnya, sampai saat ini, pengadilan HAM tersebut, masih belum terjadi, sehingga kita akan selalu berdebat dan terbelah dalam dua kubu dalam melihat posisi Prabowo di berbagai kasus HAM tersebut.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top