Nasional

Memahami Akar Rasisme lewat Serial Warrior

sumber gambar: https://www.nowtv.com/ie/online/warrior/iYEQZ1vXy2NqkiRQs8jWD7

Oleh: Harsa Permata

KEBARUAN.COM – Tulisan ini sebenarnya terpicu oleh komentar salah seorang netizen di Indonesia, yang memberikan komentar bernada rasis, ketika salah seorang netizen lainnya membagikan artikel tentang capres pilihannya di media sosial. Netizen tersebut mengatakan bahwa ia akan lebih memilih capres orang Indonesia asli. Saat itu, saya tergelitik untuk ikutan memberi komentar terhadap komen rasis tersebut, akan tetapi setelah saya pikir berkali-kali, tak ada gunanya bersilang kata di media sosial, lebih baik, saya membuat tulisan, yang bisa memberi pemahaman tentang akar dan bahaya dari rasisme. Semoga pemahaman tersebut bisa membuat yang bersangkutan menjauhi rasisme dan segala variannya.

Berbicara rasisme, saya teringat dengan sebuah serial yang beberapa tahun lalu saya mulai menontonnya. Serial itu berjudul “Warrior”, saya menontonnya lewat aplikasi HBO Go. Serial ini sendiri dirilis oleh Cinemax, salah satu perusahaan TV kabel dari Amerika Serikat, pada tahun 2019. Sampai saat ini, serial Warrior, sudah tayang sekitar 3 season, dengan jumlah episode, sebanyak 30. Hal yang menarik adalah, serial ini berdasarkan atas naskah yang ditulis oleh Bruce Lee, salah seorang legenda bela diri, dan aktor legendaris, yang film-filmnya masih diputar di berbagai media, dan ditonton oleh banyak orang. Selain sebagai aktor, Bruce Lee juga adalah seorang penulis naskah yang berbakat. Anak kandung Bruce Lee, yaitu Shannon Lee juga terlibat dalam produksi serial ini, sebagai salah satu executive producer.

Baca juga: Demokrasi dan Reproduksi Kuasa

Naskah Serial Warrior ini, dulunya pernah ditawarkan oleh Bruce Lee pada Warner Bros, salah satu perusahaan film kenamaan dari Amerika Serikat juga. Alih-alih menerima naskah tersebut, Warner Bros malah merilis Serial “Kung Fu“, yang dibintangi oleh David Carradine, pada tahun 1972. Bruce Lee sendiri berpandangan bahwa Warner Bros seharusnya menjadikannya sebagai bintang serial itu, karena alurnya kurang lebih mirip dengan naskah serial Warrior yang dikarang oleh Bruce Lee. Akan tetapi, Tom Kuhn, Kepala Divisi Televisi Warner Bros, menyatakan bahwa mereka menolak Bruce Lee, karena mereka menganggap bahwa aksen bahasa Inggris, Bruce Lee, akan membuat penonton sulit memahaminya (Charles Nicholas Raymond dalam artikel “Bruce Lee’s Connection To Kung Fu’s Original Show Explained”, screenrant.com, diakses 5 Desember 2023).

Sebagian pihak ada yang menduga, bahwa penolakan Warner Bros terhadap Bruce Lee untuk peran di serial “Kung Fu” dan diberikannya peran tersebut pada David Carradine, ini adalah salah manifestasi dari whitewashing. Whitewashing adalah suatu bentuk rasisme yang mengedepankan supremasi dan dominasi kulit putih dalam media.

Baiklah kita lihat bagaimana alur cerita dari serial Warrior, dan bagaimana wujud rasisme ditampilkan di dalamnya. Bruce Lee sendiri adalah salah seorang tokoh yang anti rasisme, tidak heran kalau film-film yang dibintanginya, memiliki perspektif anti rasis.

Serial ini memiliki latar waktu, pada saat Tong Wars (Perang Tong), atau perang antar geng, di San Fransisco, Amerika Serikat, pada akhir abad ke-19. Tokoh utamanya adalah Ah Sahm (diperankan oleh Andrew Koji), yang merupakan seorang imigran dari Tiongkok, dan seorang jago beladiri, yang sangat lihai memainkan nunchaku (double stick), sebagai senjata, dalam pertarungan. Ia pergi ke Amerika Serikat, untuk mencari adik perempuannya. Sesampai di sana, karena menolong salah seorang imigran dari Tiongkok juga, ia harus bersimpangan jalan dengan geng Hop Wei, yang dipimpin oleh Father Jun (diperankan oleh Perry Yung).

Saat itu, Chinatown di San Fransisco, didominasi oleh beberapa geng, yang selalu berkonflik berebut kekuasaan di jalanan. Geng-geng tersebut, di antaranya adalah Hop Wei, Long Zii, dan Irish Mob. Para Polisi di Chinatown, kebanyakan memiliki latar Irish, atau keturunan Irlandia dan Imigran yang berasal dari Irlandia. Selain itu, hal lain yang membuat alur cerita semakin menarik adalah, yaitu setelah beberapa lama berdialektika dengan geng-geng di Chinatown, barulah Ah Sahm mengetahui bahwa istri pimpinan geng Long Zii yang sudah tua, adalah adik perempuan yang sedang dicarinya, yaitu Mai Ling (Dianne Doan).

Ah Sahm berhasil menjadi anggota geng Hop Wei, setelah aksi heroiknya, yang menyelamatkan anak Father Jun, yaitu Young Jun (Jason Tobin), yang hampir diculik oleh anggota geng Long Zii, ketika ia sedang berada di Rumah Bordil, yang dipimpin oleh Ah Toy (Olivia Cheng). Bagi para penonton Indonesia, mungkin hal yang paling menarik dari serial ini adalah ikut sertanya Joe Taslim, aktor Indonesia, yang telah pernah berperan di beberapa film Hollywood, seperti “Fast and Furious 6”. Dalam serial ini, Joe Taslim berperan sebagai kekasih Mai Ling, Li Yong, seorang pentolan Long Zii juga yang jago beladiri.

Rasisme dalam serial Warrior, terwujud dalam sikap anti-Tionghoa, yang diperlihatkan oleh para pentolan Irish Mob, pimpinan Dylan Leary (Dean S. Jagger). Sikap rasis ini pada dasarnya berakar pada ketersingkiran para anggota komunitas Irlandia (Irish), yang mayoritas merupakan pekerja kasar, dalam berbagai lapangan pekerjaan di sana. Para pengusaha atau pemilik modal di San Fransisco, lebih memilih mempekerjakan Imigran Tiongkok sebagai pekerja kasar, karena kerja mereka lebih rajin, dan mau dibayar lebih murah dibanding pekerja kasar imigran Irlandia atau dari wilayah Eropa lainnya.

Sikap rasis ini dimanfaatkan oleh Deputy Mayor (Wakil Walikota) San Fransisco, Walter Buckley, yang akan maju dalam kontestasi pemilihan Walikota, dengan menyebarkan propaganda anti-Tionghoa. Selain itu, diam-diam, ia juga menjalin kesepakatan dengan Mai Ling, yang poinnya adalah bahwa Mai Ling harus menjaga konflik antar geng, supaya tetap berlangsung, dan kondisi perdamaian antar geng tidak akan terwujud. Timbal baliknya, adalah Walter Buckley dengan kekuasaannya, akan membuat para polisi membiarkan geng Long Zii, menguasai jalanan dan bisnis penyelundupan narkoba (opium) di San Fransisco.

Baca juga: Pentingnya Metode Blended Learning di Era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 bagi Sekolah Berbasis Pesantren

Dalam level nasional, saat itu, rancangan undang-undang yang sangat rasis, yaitu Chinese Exclusion Act, dalam proses menuju pengesahan. Chinese Exclusion Act, dalam sejarah Amerika Serikat, adalah undang-undang yang melarang para pekerja migran dari Tiongkok untuk bekerja di Amerika Serikat, selama 10 tahun. Undang-undang ini disahkan pada tahun 1882, dan ditandatangani oleh President Chester A. Arthur (Sumber: archives.gov, diakses 14 Desember 2023).

Dari sebagian alur cerita serial Warrior ini, bisa kita simpulkan bahwa sikap rasis, dan ideologi rasisme, tidak terjadi begitu saja, tetapi karena ada suatu kondisi persaingan antar manusia, akibat sistem kapitalisme. Sistem yang didominasi oleh para pemilik modal ini, sangat berorientasi untuk mengejar keuntungan sebesar-besarnya, dengan modal dan pengeluaran sekecil-kecilnya. Para politisi malah memanfaatkan kondisi ini, dengan mengusulkan pengesahan undang-undang rasis, Chinese Exclusion Act, dengan tujuan untuk menarik simpati para pemilih, dari kalangan imigran Irlandia dan Eropa lainnya, yang punya hak pilih dalam pemilu.

Akhir kata, ideologi rasisme dan sikap rasis, pada dasarnya sangat bertentangan dengan nilai kemanusiaan, yang mengutamakan persamaan hak antar manusia. Sebagai bangsa Indonesia, yang berpegang pada sila-sila Pancasila, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita seharusnya membuang jauh-jauh rasisme dan semua variannya, karena sangat bertentangan dengan nilai kemanusiaan dalam sila kedua, Pancasila, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.***

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top