Nasional

Demokrasi dan Reproduksi Kuasa

Oleh: Noufal Riri Hananta
(Arsitek & Pemerhati Sosial-Politik dan Kebudayaan )

KEBARUAN.COM – Ada rentetan kegelisahan yang nyaris berujung pada sikap frustrasi rasa ketidak kepercayaan masyarakat dalam menyikapi kegaduhan politik yang berlarut-larut menghadapkan kita pada kenyataan yang sumir, dimulai dengan keluarnya keputusan perubahan pasal 169 huruf q UU Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu dan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden 2024.

Semacam fenomena gajah bertarung, gading retak dan berserak di mana saja. Kita merasakan berada dalam situasi terjerembap pada anasir hukum tentang benar dan salah (merujuk pada praktik etik, moralis begawan sosial politik). Seperti pilihan posisi dalam buaian postulat Jean Baudrillard, kekuasaan dengan sendirinya mereproduksi diri melalui berbagai hubungan.

Elite politik di Negara ini, masih kukuh pada keyakinan masing-masing dan terlihat ogah untuk berinisiatif mengakhiri konflik kepentingan yang berlangsung. Konflik ini akan bermuara pada legitimasi kepemimpinan demokratis. Sementara pemerintahan pusat dengan karakterisktik yang ambigu seolah membuat ambang secara diplomatis.

Baca juga: Pilih Nasehat Machiavelli atau al-Ghazali?

Tentu, mereka semua masih belum menemukan kesepakatan politis untuk membangun jalan demokrasi. Hal ini terjadi karena elite politik berangkat dari kekuatan kelompok tertentu atau partai politik yang berbeda-beda. Ini sebenarnya ideal demokrasi dalam sebuah kepemimpinan multipartai.

Demokrasi kita dipenuhi jalan terjal berliku, bukan saja ketidaksediaan elite politik mewujudkan demokrasi, tapi dalam situasi demokrasi guna mewujudkan kepemimpinan yang demokratis, pro-kontra bisa menciptakan sistem yang kontraproduktif. Seperti ilustrasi Jack Snyder, penulis buku Democratization and Nationalist Conflict, 2000, yang meragukan jika proses demokrasi dapat membawa arah perubahan masyarakat damai dan sejahtera. Sejarah pada masa transisi menuju arah demokrasi, sering menimbulkan konflik SARA, bahkan disintegrasi bangsa, demokrasi dan perdamaian dapat terpelihara bila antar kepemimpinan yang memiliki watak demokrasinya sudah matang.

Hal ini ditilik secara populer nasionalisme mencakup banyak gejala, patriotisme, perjuangan damai kelompok budaya guna mencapai hak khusus. Dalam perubahan pengertian demokrasi harus jelas, antara demokrasi matang dan yang sedang demokratisasi. Dalam kepemimpinan dan pemerintahan yang matang, berdasarkan pada pemilihan umum secara luber dan jurdil. Kesemuanya didahului oleh kebebasan, (bicara, berpendapat, berkumpul). Prinsip mendasar tersebut harus dihargai bersama berbagai kelompok kepentingan.

Jika, merujuk pada pemahaman dan makna demokrasi yang cenderung dianggap klasik dan klise tentang makna dasar demokrasi, yaitu demos (rakyat), kratos (berkuasa). Artinya rakyat berkuasa Itulah inti demokrasi yang dalam prakteknya ada sejak zaman Yunani kuno, ketika Kleistenes mereformasi sistem pemerintahan tahun 508 SM.
Jika dilihat dari sejarahnya, sejak dulu aktualisasi demokrasi itu murni berupa metode, alat, dan proses menciptakan perdamaian. Sebagai cara, alat (proses) dalam aktualisasinya demokrasi menjadi kasat mata, bisa diukur dan menyangkut kehidupan sehari-hari.

Lantas, bagaimana dengan demokrasi kita sekarang?

Bung Hatta, Sang Proklamator kita pernah menyebut krisis demokrasi atau demokrasi dalam keadaan krisis sebagai demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaannya lupa syarat hidupnya dan melulu menjadi anarkhi, lambat laun akan digantikan diktator. Ini adalah hukum besar dari sejarah dunia! Demokrasi dapat berjalan baik, apabila rasa tanggung jawab dan toleransi pada elit politik.

Melihat kegaduhan politik, hukum kini, seperti dua sisi yang bisa ditengarai sebagai jalan terjal, ketika pemerintahan berlangsung. Demokrasi memerlukan kesepakatan elite politik, memilih dan menentukan arah pembangunan demokrasi. Selain sebagai pertanggungjawaban jabatan politisnya, bentuk amanah konstituen yang mempercayakan kepemimpinannya. Konteks ini, menilik secara kronologis.

Egoisme yang berkecamuk pada elite politik kini, bersumber di agenda kepentingan masing-masing kekuatan politik, dampak proses benturan berbagai kepentingan ini bisa berakibat fatal untuk saling tuding dan menyalahkan, siapa harus bertanggung jawab atas dosa-dosa politik ini. Semua itu terwujud dari tidak sadarnya mereka terhadap realitas politik di bawah, yang sebenarnya disulut pertikaian mereka. Maka jangan disalahkan, jika egoisme politik merambat pada rasa kepercayaan masyarakat yang tidak lagi mempercayai elite politiknya.

Situasi ini berpengaruh besar pada masyarakat. Siapakah pemimpin yang dapat dipercaya? Padahal, masyarakat paternalistik masih kuat melekat pada bangsa kita senantiasa memiliki ketergantungan tinggi terhadap pemimpin, baik pemimpin formal maupun pemimpin informal. Legitimasi kepemimpinan yang demokratis turun akibat ketidakmampuan mereka menyatukan agenda visioner. Pada gilirannya, kebebasan politik yang dimliki masyarakat akan menimbulkan kritik terbuka terhadap pemimpin, sehingga membangun opini negatif.

Tahap ini penting mencari pemimpin yang mendapat legitimasi demokrasi, secara hukum sah. kesepakatan elite politik sebagai bentuk konsolidasi demokrasi mestinya dilaksanakan taktis. Sebagai solusi atas legitimasi pemimpin yang demokratis sebagai kebutuhan mendasarnya. Meskipun konteks ini, demokrasi akan banyak menuai kritikan.

Sebab, demokrasi dan kepemimpinan adalah persoalan publik yang mesti transparan dan bukan ranah private yang penuh teka teki. Dan pertanggung jawaban kepemimpinan yang demokratis ada pada kehidupan bersama, dari, oleh, dan untuk Rakyat.

Baca juga: Potensi Kemenangan AMIN, Menurut Survei Litbang Kompas

Secara realistis, kepemimpinan yang demokratis bukan berdasar pada garis tangan (wahyu keprabon), tetapi dipilih, ditentukan rakyat. Sebab itu, para elite politik harus mengembangkan kesepakatan politik, bagaimana mewujudkan pemimpin yang mendapat legitimasi demokrasi. Dengan konsolidasi demokrasi dalam pengalaman sejarah, komposisi sosial, etnik, struktur ekonomi dan konteks nasional. Semuanya untuk memberikan dan menentukan ciri khas bagi penguatan demokrasi berbangsa.

Demokrasi yang subtansial membutuhkan basis legitimasi kultural masyarakat. Dan ini tidak boleh diperoleh dengan cara-cara curang, memanfaatkan fasilitas negara, tekanan atau ancaman kuasa, atau cara-cara tidak fair lainnya. Begitu kecurangan terjadi, maka kekuasaan yang dilahirkan akan korup dan destruktif, yang justru akan menggerogoti sendi-sendi demokrasi konstitusional.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top