Business

Kebijakan Menaikkan CHT akan Membuat Ekonomi Semakin Lesu

KEBARUAN.COM – Harga rokok, secara umum mengalami kenaikan pada tanggal 1 Januari 2024. Hal ini dikarenakan, kenaikan cukai hasil tembakau (CHT), rata-rata 10%, sebagai akibat dari kebijakan pemerintah, melalui Peraturan Menteri Keuangan, Nomor 191 Tahun 2022 terkait Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris (Sumber: cnnindonesia.com, diakses 1 Januari 2024). Kebijakan tidak ramah pada pelaku usaha ini, pada dasarnya hanya akan membuat perekonomian semakin lesu. Mengapa demikian? Kenaikan CHT ini tentu akan menambah biaya produksi.

Konsekuensi dari kenaikan biaya produksi, adalah, pertama, perusahaan akan membebankan kenaikan ini pada konsumen, dengan menaikkan harga. Kedua, pengurangan karyawan, untuk memangkas biaya produksi. Hal ini sudah terjadi pada saat kenaikan cukai rokok tahun 2021, yang efektif berlaku pada awal Januari 2022. Sebagaimana dilansir oleh liputan6.com, Ketua Gabungan Pabrik Rokok Surabaya, Sulami Bahar, mengungkapkan bahwa kenaikan cukai rokok berdampak negatif, dan berimbas pada PHK massal, sekitar 4000 buruh pabrik roko terkena PHK (Sumber: liputan6.com, diakses Januari 2024).

Baca jugaPerpres 78 Tahun 2023, Salah Satu Alasan Mengapa Rakyat Butuh Perubahan

Dampak ketiga, dari kenaikan CHT yang berimbas pada kenaikan harga rokok ini adalah, masyarakat akan mencari rokok dengan harga yang lebih murah. Seperti yang terjadi di Jembrana, Bali, pada sekitar bulan Oktober 2023, peredaran rokok ilegal, dengan harga murah, marak, yaitu sekitar Rp. 10.000, per bungkus (Sumber: detik.com, diakses 1 Januari 2024).

Dampak keempat, jika kemudian kerugian akibat meningkatnya biaya produksi, yang paling fatal, adalah perusahaan harus gulung tikar, alias bangkrut. Seperti yang terjadi pada Pabrik Rokok Apache di Blitar, yang tutup mulai 1 September 2023, karena kondisi industri rokok yang sedang menurun (Sumber: medcom.id, diakses 1 Januari 2024). Pada bulan yang sama juga, satu pabrik rokok di Blitar, yang sudah berusia sekitar 73 tahun, yaitu PT Bokor Mas, yang dinyatakan pailit, dengan utang sekitar 800 miliar rupiah (Sumber: kompas.com, diakses 1 Januari 2024).

Penutupan perusahaan akibat bangkrut ini, jelas merugikan karyawan atau pekerja, yang penghidupannya, sangat bergantung pada upah yang diterimanya, dengan bekerja sebagai karyawan suatu perusahaan. Angka pengangguran tentu akan semakin meningkat, ke depannya, jika kenaikan CHT ini, mengakibatkan kenaikan harga, dan menurunnya daya beli. Daya beli yang menurun, tentu berakibat pada pemasukan dari penjualan produk rokok, juga akan menurun, akibatnya, tentu PHK massal akan kembali terjadi.

Hanya perusahaan dengan modal kuat, atau perusahaan padat modal yang tetap bisa bertahan dengan kenaikan biaya produksi, karena proses produksi lebih bergantung pada mesin, daripada tenaga manusia. Sementara, perusahaan yang padat karya, yang proses produksinya lebih bergantung pada manusia, atau pekerja, tentu akan kesulitan, dan fatalnya, bisa berimbas pada kebangkrutan.

Baca jugaTarget Pengesahan UU Perkoperasian : Hanya JanjiI Palsu

Hal inilah, yang seharusnya jadi perhatian pemerintah Indonesia ke depannya. Khususnya, pemerintah hasil pemilu 2024, yang akan memimpin Indonesia selama 5 tahun ke depan. Yang jelas, berbagai kebijakan perekonomian, yang merugikan mayoritas rakyat, tentulah harus diubah. Karena, dengan kondisi riil ekonomi yang sedang lesu seperti sekarang, kebijakan ekonomi pemerintah yang berimbas pada kenaikan biaya produksi, tentu akan membuat pelaku usaha kesulitan. Khususnya, pelaku usaha yang modal dan keuntungannya tidak bisa menutupi biaya operasional perusahaannya, akibat kenaikan biaya produksi.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top