Nasional

Benci dan Rindu dalam Kekuasaan di NU

Foto Abdullah Wong (Sumber : https://koran.tempo.co/)

(Catatan pada Harlah NU dan Pemilu 2024)
Oleh Abdullah Wong

KEBARUAN.COM – Syahdan, NKRI dibidani oleh berbagai eksponen bangsa yang beragam, satu di dalamnya NU. Di jaman kolonial, pesantren (baca: NU), santri dan kyai berjuang di berbagai peperangan. Dalam perang kemerdekaan, NU juga mengambil langkah penting dengan menyerukan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 sehingga meletus perang 10 November 1945. Hingga kini, 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan, dan 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional.

Membaca geopolitik di atas tidak berlebihan jika NU disebut orang tua NU dan NKRI adalah anak kandung NU. NU bukan hanya ikut melahirkan, tapi membesarkan, menjaga, mendampingi, dan merawat NKRI. Dari peperangan para santri di zaman kolonial, Resolusi Jihad di era kemerdekaan, menjadi partai di zaman orde lama, bersedia fusi dalam PPP hingga mendukung Pancasila sebagai asas tunggal di era orde baru. Artinya, NU telah lama bersinggungan dengan kekuasaan, meski tak selalu diuntungkan penguasa.

Saat reformasi, NU dan kekuasaan seakan saling melepas rindu. Saat Gus Dur menjadi presiden, NU tampil di berbagai elemen begitu konfiden. Kepemimpinan Gus Dur di era reformasi, begitu berpengaruh dalam mengubah konfidensi santri di kancah politik, dari daerah hingga nasional. Situasi demikian sebenarnya juga dialami warga PDI-P lantaran Megawati sebagai patron partai berlambang banteng itu juga tengah berada pada puncak kekuasaan. Tapi PDI-P beda dengan NU. PDI-P bukan ormas keumatan. Sementara NU, bukan semata ormas keumatan tapi juga institusi agama yang memiliki basis pesantren, para ulama, hingga otoritas untuk memberikan keputusan-keputusan keagamaan.

Baca jugaNU dan Pemilu 2024: Cawe-Cawe atau Menegakkan Makna Khittah

Sejarah mencatat, secara dinamis NU telah berulang kali mengambil sikap terhadap kekuasaan sejak era kolonial hingga pasca reformasi. Tapi di pasca reformasi, NU seperti ketagihan kekuasaan. Di satu sisi, NU ingin tetap berada pada pusaran kekuasaan, tapi di sisi lain NU harus hati-hati (ikhtiat) menjaga dirinya sebagai ormas keagamaan dan keulamaan yang berintegritas. Karena dari sinilah umat dan partisan NU tetap yakin dan loyal kepada struktur NU.

Loyalitas umat dan jamaah NU inilah yang kemudian disadari oleh para elit politik baik yang berasal dari luar atau dari dalam jam’iyyah NU sebagai arsenal yang tak bisa diremehkan terutama saat kontestasi kekuasaan berlangsung. Situasi ini bagi NU sebenarnya “kadang” memberi peluang berlangsungnya simbiosis mutualisme tapi “kadang” berlangsung hubungan parasitisme. Saat ini memang tidak ada yang menentang kekuasaan di dalam elit NU sebagaimana Machiavelli menentang kekuasaan gereja. Dalam “the Discourse,” ia menyatakan Kristianitas konvensional melemahkan manusia dari kekuatan yang diperlukan untuk menjadi masyarakat sipil yang aktif. Sementara mantra saat ini yang selalu digaungkan adalah kekuatan demokrasi ditandai civil society yang kuat.

Pada Pilpres 2024 kali ini, kemaruk pesantren dan NU terhadap kekuasaan tampak semakin jelas. Meski singkat, masa pengantin Gus Dur dengan Megawati ikut mewarnai wajah-wajah santri NU yang kemudian kepincut bahkan kecanduan nikmatnya kekuasaan di tingkat daerah maupun nasional. Pertanyaannya, apakah santri NU bermasalah jika masuk dalam pusaran kekuasaan dan politik praktis. Tentu saja sangat tidak masalah selama santri menjaga fatsun politik dan integritas pesantren sebagai basis utama NU. Semangat santri NU untuk masuk dalam konstelasi kekuasaan di negeri ini makin kuat ketika muncul pandangan misalnya, “Dari pada mereka yang mengambil, mending kita saja yang ambil.” Atau, “Sudah waktunya santri tampil jadi pemain, bukan jadi penonton yang dicari saat dibutuhkan.”

Ongkos Pesantren & NU

KH. Ahmad Tohari pernah menulis cerita pendek berjudul “Pengemis dan Shalawat Badar.” Secara singkat cerpen satir itu berkisah seorang pengemis di dalam bis antar kota yang berhenti di terminal dengan melantunkan shalawat. Bagi pembaca yang tidak setuju berpendapat bahwa shalawat yang sakral untuk bertawasul kepada Nabi malah digunakan untuk mengemis. Tapi bagi yang setuju mungkin berpendapat bahwa itulah diantara mukjizat shalawat. Membaca shalawat lalu meminta saweran bukanlah amal haram. Toh hanya minta, bukan mencuri bukan pula merampok. Peristiwa demikian hanya transaksi berbasis agama belaka.

Apakah saat ini kita menyaksikan sejumlah pesantren berikut elit NU sedang merapal mantra dan doa demi kemenangan salah satu pasangan calon? Apakah saat ini kita melihat sejumlah tokoh ulama NU atau kyai pesantren tertentu dengan gaya dan kaifiyat masing-masing menghimbau, mengajak, bahkan memerintahkan para pengikutnya untuk memilih pasangan tertentu? Jika memang demikian apakah bermasalah secara etis dan moral? Tentu saja tidak. Tapi artinya, NU dan pesantren sadar betul tentang ongkos. Mungkin bagi sejumlah kyai, ongkos NU dan pesantren begitu mahal. Apalagi bagi kyai dan elit NU yang pernah merasakan betapa pelukan penguasa dan berada dalam pusaran kekuasaan itu begitu tentram, nyaman dan sejahtera sehingga dapat mengantisipasi ongkos mahal.

Baca jugaKaum Muda Nahdhiyyin Menyayangkan Pemutarbalikan Logika oleh Gus Ipul

Benarkah ongkos NU dan pesantren mahal? Apakah mahal itu dihitung dari seremonial dan selebrasi gigantik yang sering diadakan NU dan pesantren? Apakah logika yang digunakan adalah kyai cukup istiqomah mengajar santri, biarkan penguasa yang memberi fasilitas dan menyantuni? Mungkinkah para kyai di pesantren dan di tubuh NU beri’timad kepada penguasa lantaran takut pesantren dan ormasnya bangkrut? Apakah aksi zuhud dan wara’ hanya jadi kajian kitab kuning semata, sementara hal yang paling krusial adalah menjaga marwah dan eksistensi NU dan pesantren? Entahlah. Semua itu hanya pertanyaan yang tak perlu dijawab.

Konon, pemilihan umum adalah pesta demokrasi. Dalam pesta, siapapun boleh tampil. Siapapun boleh mengadakan sandiwara, konser aneka musik, pagelaran tari dan orkestra, hingga pameran baliho di galeri trotoar dan fasilitas umum. Dalam pesta semua boleh digunakan menjadi dalil dan dalih. Satu hal yang menarik dalam pesta; demi ongkos yang mahal di saat ini dan masa datang, sejumlah pesantren dan ulama elit NU rela menjadi artis sekaligus corong untuk melafalkan dialog-dialog narasi kekuasaan sesuai naskah sandiwara. Kenapa? Apakah masih soal ongkos?

Wallahu a’lam.

Umah Suwung, 31 Januari 2024

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top