Nasional

Senjakala Demokrasi di Era Jokowi

Ilustrasi Jokowi Memberangus Demokrasi (Sumber : aksikata.com)

Oleh : Harsa Permata

KEBARUAN.COM – Dulu, ketika tahun 2014, seingat saya, saya pernah mendebat seorang senior dari kampus dan jurusan yang sama dengan saya. Dia mantan aktivis tani, saat itu dia termasuk Jokower, alias pendukung fanatik Jokowi. Kurang tahu juga, apakah dia termasuk inner circle Jokowi, atau hanya tim hore, tukang sorak doang. Sekarang dia maju jadi caleg di sebuah provinsi di Pulau Jawa, dari partai yang dipimpin oleh anak Jokowi, yang menjadi salah satu anggota barisan partai pendukung Prabowo di Pilpres (Pemilu Presiden) 2024

Saat itu, saya bilang (kalau tidak salah ya), “Demokrasi di persimpangan jalan, Mbak, di Pemilu 2014 ini”, begitu kurang lebih saya sampaikan ke yang bersangkutan di media sosial, Facebook. Media sosial, yang sekarang sudah banyak ditinggalkan anak-anak muda, banyak yang beralih ke twitter, untuk adu argumen, atau ke instagram, untuk pamer foto, atau ke tiktok, untuk pamer konten video.

Begitulah, poinnya, semenjak berakhirnya era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan kemunculan dua kandidat capres, yang keduanya berisi orang-orang dan tokoh-tokoh Orde Baru, baik sipil maupun militer, saya terus terang, termasuk orang yang pesimis dengan masa depan demokrasi di Indonesia pasca SBY. Mengapa demikian? Karena, kedua kandidat yang bertarung, berisikan tokoh-tokoh Orba, yang memiliki rekam jejak bermasalah dalam demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Baca jugaMembandingkan Program Makan Siang Gratis, Prabowo dan Kebijakan Bagi-Bagi Roti, Rafael Trujillo

Kubu Jokowi, saat itu di dalamnya ada Wiranto, mantan Menhankam/Pangab, di penghujung era Orde Baru, dan di awal Reformasi. Wiranto sendiri pernah dikaitkan dengan berbagai kasus pelanggaran HAM, seperti di Timor Leste, pasca referendum, Tragedi Semanggi I dan II. Secara keseluruhan di kubu Jokowi saat itu ada beberapa jenderal purnawirawan, yang tersangkut dalam berbagai kasus pelanggaran HAM berat. 10 tahun sebelumnya, memang sempat juga terjadi kondisi demokrasi di persimpangan jalan. Untungnya, pada tahun 2004, demokrasi terselamatkan, SBY, Jenderal Purnawirawan TNI Angkatan Darat (AD), yang juga seorang intelektual, lebih memilih jalan demokrasi, daripada kediktatoran.

Kubu Prabowo, sudah jelas, Prabowonya sendiri yang bermasalah, yaitu dalam kasus penculikan aktivis 1997-1998. Terdapat 13 aktivis yang hilang dari 1998 – sampai sekarang, termasuk Penyair Wiji Thukul. Prabowo sepertinya, tidak punya keinginan mengungkap dan menyelesaikan kasus, yang membuat dia diberhentikan dari dinas ketentaraan ini, baik secara hukum, maupun di luar hukum.

Setelah 10 tahun, dari 2014, demokrasi dan kebebasan memang jauh mengalami penurunan dibanding era SBY. Kebebasan berbicara, sudah diberangus dengan penerapan Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). UU ini memang disahkan di era SBY, akan tetapi, banyak dipakai di era Jokowi. Lumayan banyak juga orang yang dipenjarakan gara-gara undang-undang ini, termasuk pendukung Prabowo, yaitu musisi Ahmad Dhani, pentolan grup musik Dewa 19.

Pemerintahan Jokowi, juga lebih memilih penyelesaian non-yudisial, untuk berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu. Seingat saya, bahkan, pada periode pertama Jokowi, Jenderal (Purn) Wiranto, yang memiliki rekam jejak bermasalah soal HAM, malah ditunjuk jadi Menkopolhukam (Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Kemanan), yang mengkoordinir penyelesaian non-yudisial tersebut.

Pada periode kedua, rivalnya di dua Pilpres, Prabowo Subianto, yang bermasalah dalam kasus penculikan aktivis 1997-1998, malah dijadikan Menteri Pertahanan (Menhan). Di penghujung periode kedua, malah putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang mendampingi Prabowo, untuk maju lagi, kali keempat, dalam kontestasi Pilpres 2024.

Pertanyaannya, jika Prabowo menang, apakah demokrasi dan kebebasan, akan mati sepenuhnya?

Persoalannya, adalah pada, apakah demokrasi dan kebebasan itu, menghambat kepentingan bisnis, orang-orang yang dekat dengan kekuasaan, termasuk di antaranya, Prabowo sendiri? Ya, dia juga pengusaha, punya bisnis, yang memasok pundi-pundi kekayaannya. Beberapa jenis bisnis, termasuk yang tidak ramah lingkungan, seperti tambang batubara misalnya. Sebagaimana dilansir oleh okezone.com, tercatat ada delapan perusahaan yang dimiliki oleh Prabowo Subianto, dua di antaranya, adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang tambang batubara. Kedua perusahaan tersebut, bernama, Nusantara Energy dan Nusantara Kaltim Coal, kedua perusahaan ini berlokasi di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, yang kebetulan hanya berjarak sekitar412,5 KM, dari rencana IKN (Ibu Kota Nusantara), calon ibukota Negara Republik Indonesia, pengganti Jakarta.

Selain perusahaan milik Prabowo, ada juga perusahaan milik kroninya, yaitu PT. Teknologi Milter Indonesia (TMI), perusahaan ini disinyalir didominasi oleh inner circle-nya Prabowo. Mayor Jenderal (Purn) Glenny Kairupan, teman seangkatan Prabowo di Akademi Militer, menjabat sebagai chairman di perusahaan ini. PT TMI inilah yang ditunjuk oleh Menhan (Menteri Pertahanan), Prabowo Subianto, sebagai perusahaan yang bertanggung jawab dalam program pengadaan alutsista (Alat Utama Sistem Senjata) Kementerian Pertahanan (Kemenhan) (Sumber: cnbcindonesia.com, diakses 12 Januari 2024). Saya baru memaparkan bisnis Prabowo dan kroninya, karena lumayan banyak, jika saya paparkan juga bisnis cawapres (Calon Wakil Presiden)-nya Prabowo, Gibran Rakabuming Raka, Jokowi, dan Kaesang, Ketua PSI (Partai Solidaritas Indonesia), yang juga merupakan putra bungsu Jokowi.

Baca jugaKronologi Agus Rahardjo Diminta Jokowi Stop Kasus E-KTP

Akan tetapi, poinnya adalah, jika demokrasi dan kebebasan yang mungkin masih ada sedikit di Republik Indonesia, kemudian mengganggu bisnis penguasa, maka saya yakin 100%, dua hal tersebut, akan diberangus. Itu jika Prabowo-Gibran memenangi Pilpres 2024. Mengapa demikian? Bagaimana dengan etika politik? Terus terang, problem etika tersebut, sudah tidak digubris oleh kubu Prabowo-Gibran. Kita bisa lihat, dari pencawapresan Gibran, yang penuh drama, dan bermasalah dalam hal etika politik. Kongkrit saja, bapaknya masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia (RI), anaknya jadi cawapres. Ada conflict of interest, jika kemudian Pilpres 2024 berlangsung, dalam kondisi ini. Mengapa? Jelas sekali, sebagai presiden, Jokowi tentu memiliki kekuasaan besar di Indonesia. Intervensi baik yang kelihatan maupun tidak, tentulah sudah dan akan dilakukan, karena ya itu tadi, anaknya, putra sulungnya, jadi cawapres mendampingi Prabowo dalam kontestasi Pilpres 2024.

Politik dinasti? Iya, betul, jika paslon (Pasangan Calon) Prabowo-Gibran memenangi Pilpres 2024. Karena mungkin faktor Jokowi, entah itu karena mayoritas rakyat preferensinya hanya pada Jokowi dan keturunannya, atau karena kekuasaan yang dimainkan Jokowi untuk memenangkan Paslon yang di dalamnya, anaknya menjadi cawapres. Kuncinya, sebenarnya adalah jika paslon nomor urut 2 ini memenangi Pilpres 2024.

Apa yang bisa dilakukan oleh mahasiswa dan rakyat, yang sadar dan tidak setuju dengan potensi akhir hayat demokrasi, pengkhianatan terhadap berbagai agenda Reformasi 1998, oleh Jokowi, dan para aktivis, atau politisi pendukungnya, pelanggar HAM, seperti Prabowo jadi presiden, dan yang paling penting, yaitu politik dinasti? Hanya satu jalan yaitu melawan! Dan jangan lupa perlawanan hanya akan menang atau minimal berdampak cukup signifikan, jika mahasiswa dan rakyat berhasil merapatkan barisan. Berhasil bersatu, dan mengajak elemen rakyat lainnya, untuk bergabung dalam gerbong perlawanan. Itu saja. Selamat berjuang dan berlawan!

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top